SuaraJabar.id - Belasan perempuan duduk di ruang tunggu Pengadilan Agama Kota Cimahi. Sebagian dari mereka menundukkan kepala, sebagian lagi memandang ke depan dengan tatapan mata yang kosong.
Mereka hanyalah sebagian kecil dari seribu lebih perempuan yang memilih untuk bercerai pada tahun 2020 lalu.
Dari catatan Pengadilan Agama Cimahi, ada 1.392 kasus perceraian yang mereka tangani sepanjang 2020 lalu.
Bukan sekedar angka, di balik ribuan kasus itu, terdapat banyak cerita pilu mengenai hal mengerikan yang dialami seribuan lebih perempuan yang bercerai itu. Mulai dari kekerasan fisik, verbal hingga kekerasan seksual.
Baca Juga:Belasan Santriwati Diperkosa Guru, Ridwan Kamil Dorong RUU TPKS Segera Terealisasi
Belia (nama samaran) misalnya. Perempuan warga Cibeber, Kecamatan Cimahi Selatan ini dipaksa untuk menikah pada Oktober 2019 lalu. Saat itu ia lulus dari program pendidikan D1 Pariwisata dan baru berusia 19 tahun.
Belia saat itu dijodohkan oleh keluarganya dengan seorang pria yang umurnya 20 tahun lebih tua darinya.
Ia sempat menolak perjodohan tersebut karena belum mau menikah dan ingin bekerja terlebih dahulu.
"Tapi lama-lama nurut juga. Akhirnya terpaksa nikah," ujar Belia ketika ditemui Suara.com di Cimahi Mall belum lama ini.
Petaka ia alami sejak malam pertama. Ia enggan melayani keinginan sang suami yang baru saja dinikahinya tadi pagi.
Baca Juga:Luka Korban Dosen Unsri: Dilecehkan, Dikirim Pesan Porno, Disekap Saat Yudisium
Beruntung, suaminya yak memaksa Belia untuk melakukan hubungan badan di malam pertama.
"Waktu malam pertama, dia bilangnya ngerti soalnya pasti cape abis hajatan (pesta pernikahan)," kenangnya.
Belia mengaku terus membuat alasan agar suaminya tak memaksa untuk melakukan hubungan suami istri. Tiap malam, ia selalu beralasan tak enak badan.
Ia melihat suaminya tak pernah emosi atau marah. Suaminya hanya meminta Belia untuk membantunya masturbasi.
"Itu aja udah sebel banget, enek. Tapi daripada sampai hubungan seks aku bener-bener gak mau," ujarnya.
Kondisi itu ia alami hingga dua pekan lamanya. Saat suaminya bekerja dari pagi hingga sore hari, Belia mengaku hanya bisa terdiam di kamar sambil menangis.
Hingga pada suatu malam, suaminya memaksa untuk melakukan hubungan badan. Ia terus dirayu, namun tetap memberikan alasan tak enak badan.
Sang suami terus memaksa, mengingat Belia mengatakan jika keesokan harinya adalah jadwal menstruasi.
Belia mengatakan sang suami akhirnya mengalah. Suaminya kemudian memijatnya dan memberi empat butir obat.
Saat itu Belia diberi tahu jika obat itu merupakan vitamin agar ia bisa kembali bugar saat bangun di esok hari.
Belia sempat menolak pemberian empat pil kecil berwarna putih itu. Namun ia luluh ketika sang suami terus merayu.
"Gak curiga. Aku makan aja. Gak lama suami pakai jaket terus bilangnya mau nginep di rumah orang tuanya di Cihanjuang," ujar Belia.
Tak lama setelah itu suaminya pergi. Belia lalu merasakan kantuk yang luar biasa kemudian tertidur.
Saat tengah tertidur, Belia merasakan ada sesuatu yang menekan vaginanya. Dalam kondisi setengah sadar, ia melihat suaminya dalam kondisi telanjang tengah menindih tubuhnya.
Belia tak kuasa melawan karena saat itu ia merasa tubuhnya sangat lemas, bahkan tak mampu untuk berteriak.
"Aku bangun kurang lebih 24 jam sesudah kejadian itu. Pas bangun, vagina kerasa sakit. Gak tahu berapa kali orang itu maen waktu itu. Aku cuma bisa nangis," kenangnya.
Keesokan hari setelah ia sadar, sang suami kembali berangkat kerja. Belia mulai bangun dari kasur dan bersiap untuk meninggalkan rumah suaminya di yang berada di kawasan Baros, Cimahi Tengah.
Ketika mengemas baju, ia melihat kemasan obat bertuliskan Riklona Clonazepam yang belakangan ia ketahui sebagai obat golongan benzodiazepin yang dapat mengilangkan kesadaran.
Ia kemudian kabur ke rumah temannya di Ujung Berung, Kota Bandung dan pindah ke Bali sambil bekerja di sebuah hotel di sana.
"Pas Oktober 2020 aku di-PHK, terus pulang ke Cimahi. Gak lama, ngurus cerai. Sekarang udah beres," ujarnya.
Kisah pilu lainnya dialami seorang perempuan muda yang memutuskan untuk bercerai. Namanya, sebut saja Jelita (nama samaran) seorang warga Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi.
Pada 2019 lalu, Jelita terpaksa menerima lamaran dari kekasih hatinya, Joni (nama samaran). Mereka berdua pun menikah pada April 2019 lalu. Saat itu, Jelita baru berusia 19 tahun.
Jelita setengah hati menerima lamaran Joni. Alasannya, saat itu Joni belum memiliki pekerjaan tetap. Kemudian, Jelita sudah memutuskan untuk menikah di usia 23 tahun.
"Tapi terpaksa menerima pinangan," ujar Jelita saat ditemui di Pengadilan Agama Kota Cimahi beberapa waktu lalu.
Kegundahan Jelita menerima lamaran Joni terbukti beberapa saat usai mereka mengikat janji.
Joni sang suami mulai menunjukan perilaku buruk. Mulai dari kerap berbohong dan menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain hingga tak memberi nafkah yang cukup dan layak.
"Aku contohin, seminggu dulu dia misal dapat Rp 700 ribu, yang dikasih ke aku cuma Rp 100 ribu," ujar Jelita.
Bukan cuma itu, Jelita juga mengaku kerap mendapat perlakuan buruk dari Joni yang sering kali mabuk minuman beralkohol.
Jelita enggan mengungkapkan perlakuan buruk apa yang ia dapatkan ketika Joni dalam kondisi mabuk. Namun, perlakuan buruk yang ia terima itu cukup membuatnya berani mengambil keputusan untuk pisah ranjang.
"Aku kerja, pisah ranjang," ungkapnya.
Ada dalam Ikatan Pernikahan, Korban Kekerasan Seksual Bingun Harus Lapor ke Mana
Belia mengaku ingin sekali melaporkan tindak pembiusan dan pemerkosaan yang dilakukan pria yang menikahinya pada 2019 lalu.
Meski ia menganggap suaminya saat itu melakukan pemerkosaan karena ia tak mau untuk berhubungan badan, Belia mengaku bingung.
"Jalan tengahnya ya aku ambil cerai. Mau lapor ke mana coba? Agak aneh juga kan kalo laporan diperkosa suami. Soalnya kan istri kewajibannya melayani suami," keluhnya.
Ia berharap, ada regulasi yang mengatur perlindungan terhadap perempuan dari tindakan kekerasan seksual, termasuk dalam hubungan suami istri.
"Kaya aku dipaksa untuk ngelayanin oral seks misalnya, kan aku ga mau. Terpaksa. harusnya kalau suami maksa kaya gitu bisa kena hukuman," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Ketua DPR RI Puan Maharani menekankan perlindungan terhadap perempuan dalam peringatan Hari HAM Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Desember. Hak bagi perempuan untuk mendapat perlindungan, disebut Puan, salah satunya hadir melalui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sedang diperjuangkan DPR.
“HAM merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi dalam demokrasi, termasuk di antaranya terhadap perempuan. Dan RUU TPKS menjadi wadah pelindung bagi hak-hak perempuan,” kata Puan, Jumat (10/12/2021).
Mantan Menko PMK ini mengingatkan, perempuan merupakan unsur penting dalam pembangunan negara. Oleh karenanya, kata Puan, perempuan harus mendapat perlindungan mengingat banyak korban kasus-kasus kekerasan seksual datang dari kalangan perempuan.
“RUU TPKS bukan hanya terkait pada perlindungan korban kekerasan seksual semata. Lebih dari itu, RUU TPKS erat kaitannya dengan hak asasi manusia,” ucap perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
“Dan selama ini, hak-hak perempuan kerap kali tersandera dengan kondisi sosial budaya kita. Maka sering sekali perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tak bisa membela diri dan kesulitan mendapat perlindungan,” sambung Puan.
Oleh karena itu, RUU TPKS sangat dibutuhkan agar bisa menjamin terpenuhinya hak-hak terhadap perempuan. Apalagi, ditambahkan Puan, RUU TPKS berfokus kepada korban dan juga mengatur pencegahan kekerasan seksual.
“Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama dengan mengedepankan gender equity dan gender equality. Dan dengan RUU TPKS, itu menandakan negara hadir untuk korban-korban kekerasan seksual yang selama ini termarjinalkan,” tegasnya.
Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki