Ihsanudin mengatakan meski sudah mendapat jawaban dari pemerintah pusat melalui surat Sekretaris Negara RI kepada Menteri Keuangan terkait pelepasan aset negara kepada para petani plasma TIR, namun belum ada realisasinya. Akibatnya, para petani ini mengajukan surat tersebut.
Dituliskan dalam surat itu, akibat dari belum dilepaskannya aset negara tersebut, para petani plasma menilai hal ini sangat berdampak buruk pada proses pengelolaan dan proses budidaya ikan dan udang. Di sisi lain, lahan milik negara di wilayah tersebut menjadi tidak produktif.
“Sejak proyek dibangun 1984 hingga sekarang, petani plasma belum mendapatkan haknya dari pemerintah berupa konversi lahan tambak dan perumahan petani. Meski sudah ada surat dari Sekretariat Negara pada 15 September tahun 2000,” ujar Ihsanudin.
Dijelaskan Ihsanudin, sudah sejak lama para petani dijanjikan mendapat hak konversi lahan dengan cara kredit. Kenyataannya petani plasma belum mendapatkan hak konversi lahan.
Baca Juga:Curhat! Jokowi Lemas Bukan karena Ayang, Tapi Enggak Boleh Ikut Konvoi Pembalap MotoGP
“Sejak TIR operasional tahun 1986, pola TIR tidak dijalankan secara proporsional dan tertib aturan. Kehidupan petani plasma semakin terpuruk dengan dilanggarnya berbagai aturan di antaranya, mengenai bonus produksi, tingkat penghasilan yang rendah serta hak konversi lahan yang tidak jelas, sehingga tekanan kebutuhan hidup semakin berat dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok,” katanya.
Dia mendorong agar pemerintah segera merealisasikan hak petani plasma. Sebab, sebagian besar petani tersebut telah meninggal dunia dan usahanya yang tidak kunjung berkembang sejak puluhan tahun ini mayoritas dikelola oleh anak dan cucunya.
“Kami memohon keadilan kepada Presiden Jokowi untuk petani plasma di Karawang. Kami meminta kepada pemerintah untuk merealisasikan hak-hak mereka yang telah dijanjikan,” tandasnya.