-
Proyek Whoosh dinilai beban ekonomi jangka panjang (Rp130 T, cicilan 60 tahun) akibat perencanaan yang lemah, membebani keuangan negara.
-
Gerakan Rakyat mendesak mantan Presiden Jokowi bertanggung jawab atas beban Whoosh dan menuntut audit menyeluruh oleh DPR/BPK.
-
KPK didorong mengusut dugaan kemahalan harga proyek Whoosh yang konon hingga tiga kali lipat dari nilai yang seharusnya.
SuaraJabar.id - Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh yang diresmikan di masa kepemimpinan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini menjadi sorotan tajam.
Gerakan Rakyat menilai proyek ini merupakan keputusan tanpa perhitungan kebijakan yang matang, dan kini terbukti menjadi beban ekonomi jangka panjang yang sangat besar bagi negara.
Anggota Dewan Pakar Gerakan Rakyat, Nandang Sutisna, secara lugas meminta mantan Presiden Joko Widodo untuk bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia dan Presiden Prabowo Subianto.
Pasalnya, proyek Whoosh dinilai mewariskan beban keuangan yang besar di tengah upaya pemerintah saat ini untuk memulihkan kondisi ekonomi nasional.
Baca Juga:Gus Dul: Pembentukan Ditjen Pesantren oleh Prabowo Adalah Hadiah Terbaik dan Tonggak Sejarah Baru
Menurut Nandang, sumber pembiayaan proyek Whoosh, baik dari APBN, Danantara, maupun BUMN, pada hakikatnya sama saja karena pada akhirnya akan tetap menjadi beban rakyat.
“Tidak ada istilah APBN atau Non-APBN, karena semua muaranya sama uang rakyat juga,” ujar Nandang dalam keterangannya pada Minggu (25/10/2025).
Nandang menjelaskan, total biaya proyek Whoosh yang tercatat mencapai sekitar USD 7,27 miliar (setara sekitar Rp 120 triliun), termasuk cost overrun atau pembengkakan biaya.
Angka ini, menurut Gerakan Rakyat, diyakini akan membebani negara dengan total beban keuangan jangka panjang yang diproyeksikan mencapai lebih dari Rp130 triliun setelah memperhitungkan biaya bunga dan restrukturisasi pinjaman kepada Tiongkok.
Yang lebih mengkhawatirkan, skema pembayaran utang bahkan disebut bisa berlangsung hingga 60 tahun ke depan. Ini berarti, Indonesia harus terus mencicil kewajiban finansial meski usia kereta cepat itu sendiri kemungkinan sudah melampaui masa pakainya.
Baca Juga:Sampurasun! Bank Mandiri Rayakan 27 Tahun Sinergi Majukan Negeri, Resmikan Livin' Fest Bandung 2025
“Kita akan tetap membayar cicilan ketika rel dan armadanya sudah aus dimakan usia. Ini ironi yang menunjukkan betapa lemahnya perencanaan kebijakan publik di masa lalu,” tegas Nandang.
Selain itu, Gerakan Rakyat juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindaklanjuti informasi yang pernah disampaikan oleh Mahfud MD mengenai dugaan kemahalan harga proyek Whoosh hingga tiga kali lipat dari nilai semestinya.
![Kereta Cepat Whoosh tiba di Stasiun Kereta Cepat Halim, Jakarta, Rabu (22/10/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/22/13461-kereta-cepat-whoosh-ilustrasi-whoosh-ilustrasi-kereta-cepat-kereta-cepat-jakarta-bandung.jpg)
Menurut Nandang, dugaan tersebut harus diusut secara terbuka karena berpotensi menjelaskan akar dari membengkaknya biaya dan panjangnya restrukturisasi keuangan proyek tersebut.
“Publik berhak tahu apakah lonjakan biaya itu murni faktor teknis, atau ada unsur penyimpangan kebijakan dan mark up yang harus dipertanggungjawabkan,” ujarnya, menuntut transparansi.
Nandang menilai, restrukturisasi jangka panjang itu bukan solusi, melainkan bentuk penundaan beban yang justru memperparah tanggungan fiskal negara.
“Sangat tidak layak menganggap Whoosh sebagai transportasi publik yang wajar merugi, apalagi di tengah masih banyaknya infrastruktur dasar, seperti jalan dan jembatan, di berbagai daerah yang kondisinya tidak layak. Prioritas anggaran telah keliru,” tutur Nandang.