-
Dr. Alim Setiawan Slamet resmi terpilih sebagai Rektor IPB University Pengganti Antar Waktu (PAW) periode 2025–2028, menggantikan Prof. Arif Satria yang menjabat Kepala BRIN.
-
Pemilihan Dr. Alim dilakukan MWA IPB melalui musyawarah mufakat pada sidang paripurna tertutup di Bogor, dan ia akan dilantik pada 11 Desember 2025.
-
Rektor terpilih, Dr. Alim, menekankan lima dimensi pengembangan IPB, utamanya mutu, inklusivitas, relevansi, adaptif terhadap AI, dan keberlanjutan dampak kampus.
SuaraJabar.id - Dunia pendidikan tinggi Indonesia kembali mencatatkan momen penting. Institut Pertanian Bogor (IPB University), sebagai salah satu kampus agromaritim terkemuka di tanah air, resmi memiliki nakhoda baru.
Dr. Alim Setiawan Slamet, STP, MSi, telah ditetapkan sebagai Rektor Pengganti Antar Waktu (PAW) untuk periode 2025–2028.
Lulusan S3 Universitas Ehime Jepang ini tidak hanya hadir untuk mengisi kekosongan jabatan, melainkan membawa angin segar perubahan.
Di tengah gempuran disrupsi teknologi, Dr. Alim menyadari bahwa tantangan perguruan tinggi saat ini bukan lagi sekadar mencetak sarjana dengan ijazah di tangan, melainkan memastikan relevansi skill lulusan dengan kebutuhan zaman yang serba cepat.
Baca Juga:3 Fakta Mengerikan di Balik 'Rudal Kayu' Banjir Bandang Sumatera Menurut Pakar IPB
Dalam paparan strategisnya, Dr. Alim menyampaikan lima dimensi utama pengembangan IPB yang sangat *relate* dengan kegelisahan Gen Z tentang masa depan karier dan lingkungan.
Kecemasan terbesar mahasiswa tingkat akhir adalah sulitnya mencari kerja.
Menjawab hal ini, Dr. Alim menempatkan mutu dan daya serap lulusan sebagai prioritas nomor satu. Kampus tidak boleh menjadi menara gading yang asik sendiri dengan teori, tapi harus menghasilkan SDM yang siap pakai dan inovatif.
“Yang pertama, bagaimana semua perguruan tinggi bisa mengutamakan mutu karena tugas perguruan tinggi adalah menghasilkan inovasi dan SDM yang unggul serta memiliki employability tinggi," katanya.
Pendidikan adalah hak semua orang. Visi kedua Dr. Alim menyoroti pentingnya inklusivitas. Ia ingin memastikan bahwa IPB menjadi ruang yang ramah bagi semua kalangan, menghapus stigma eksklusivitas, dan membuka kolaborasi luas.
Baca Juga:DPRD Bogor Beri 'Lampu Hijau' TPAS Galuga dengan Catatan Keras
"Kita harus memperluas akses tanpa diskriminasi, lebih ramah sosial, dan memperkuat multi-stakeholders engagement," tegasnya.
Agar riset kampus tidak berakhir di laci perpustakaan, relevansi menjadi kunci dimensi ketiga. Dr. Alim menekankan pentingnya link and match antara dunia akademik dengan agenda pembangunan nasional, khususnya di sektor pangan dan maritim yang menjadi DNA IPB.
“Setiap inovasi dan hasil riset harus relevan dengan program nasional Astacita pemerintah, relevan dengan agromaritim sebagai core competence IPB University, serta link and match dengan kebutuhan masyarakat dan industri," tuturnya.
Poin keempat inilah yang paling ditunggu-tunggu dan relevan bagi digital native. Dr. Alim tidak menutup mata terhadap gelombang Artificial Intelligence (AI) yang bisa menjadi ancaman sekaligus peluang.
Ia mendorong civitas akademika untuk tidak anti-teknologi, melainkan menguasainya sebagai future skill set.
"Perguruan tinggi harus adaptif, termasuk IPB, karena kita menghadapi era AI. Future skill set harus kita dorong. Saya berharap dosen, pegawai, dan mahasiswa bisa menjadi global leader," ujarnya.