Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Selasa, 06 Oktober 2020 | 12:33 WIB
Yusepthia S atau yang lebih akrab dikenal Kent Kent sedang melakukan penjurian di acara Tanjung Pinang Tattoo Fest, pada 2016 lalu. [Instagram/03_kent_tattoo_event]

SuaraJabar.id - Berawal dari melihat, lalu tertarik untuk mencoba hingga ketagihan. Itulah awal Kent Kent menggeluti seni merajah tubuh. Pada akhir tahun 80-an, ia mulai mengawali karirnya sebagai tatoist. Kini, Kent memiliki studio tato bernama Kent-Tatto.

"Awalnya dulu melihat tukang tato, namanya Ayi Tato sedang mentato gitu, dari sana saya mulai tertarik untuk belajar tato," kata Kent baru-baru ini.

Kiprahnya dalam seni merajah tubuh pun dimulai. Lulusan sarjana Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Telkom Bandung itu, mengatakan sempat salah kaprah dalam memaknai profesi sebagai tatoist.

Akibat salah memahami dalam menjalankan profesinya itu, Kent mengaku sempat mengalami over dosis (OD) akibat kecanduannya terhadap narkoba.

Baca Juga: Viral Emak-emak Protes Mahalnya Biaya Wisuda, Unikom Buka Suara

"Saya menganggap jadi tukang tato itu preman di atas preman. Jadi preman dilantik dulu sama tukang tato. Itu salah jalan. Saya sampai sempat OD juga, tapi ternyata itu salah," tukasnya.

Akibatnya, Kent yang kala itu bekerja sebagai desain grafis di salah satu media cetak terkemuka di Bandung harus berujung nahas diberhentikan mendadak karena ketauan OD.

"Ketauan OD, akhirnya saya dikeluarkan sama kantor," katanya.

Namun, rasa putus asa Kent perlahan hilang. Titel pengangguran yang dia pegang ternyata membuka peluangnya untuk lebih serius menekuni profesi sebagai tukang tato.

Ayah empat anak itu berkisah, awalnya ia memberanikan diri mentato tukang becak yang iapun tak tahu namanya. Singkat cerita, tukang becak itu ditato oleh Kent. Jenis gambar tatonya pun, ucap dia, kala itu sebetulnya tidak jelas karena tidak sampai selesai.

Baca Juga: Masuk Zona Merah, Kota Bandung Tingkatkan Level Kewaspadaan

"Si akang tukang becak itu keburu lari karena takut, motifnya baru cuma garis-garis aja, padahal saya bayar dulu buat tato dia," imbuhnya.

Namun, lama kelamaan dia menyelami hobi menggambarnya itu sehingga semakin lama kemampuannya merajah tubuh dengan tinta berkelir rupa-rupa semakin terasah.

Menurutnya, perkembangan tato terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, proses mentato dan kedua perkembangan gambar tato. Kedua unsur itu, kata dia, pada akhirnya saling mempengaruhi. Proses mentato terbagi ke dalam dua kategori, yakni old school (era dulu) dan new school (era sekarang). Kent menekankan pada periodesasi berdasarkan waktu.

Era dulu, tatoist itu cenderung melakukan kegiatan mentato sendirian. Dari mulai menyiapkan alat-alat tato, seperti mesin dan jarum hingga membuat tinta pun dilakukan oleh si empunya tato. Seiring pesatnya perkembangan teknologi, kata dia, seni tato pun mengalami perubahan cukuo besar. Dimana bagian-bagian penting urusan teknis dalam membuat tato menjadi terspesialisasi.

"Tugas tato artis hanya membuat tato saja, alatnya udah ada dan semakin canggih. Kemudian dari segi sterilisasinya pun tentu lebih diperhatikan seperti sanitasi, kebersihan ruangan dan yang lainnya, studio tato itu sekarang sudah seperti ruangan di rumah sakit," jelasnya.

Hal itu, kata dia, menjadi salah satu pilar perkembangan tato kian pesat dewasa ini. Minat orang untuk menjalani profesi sebagai tato artis pun kian membeludak. Sebab, ketika disokong dengan kelengkapan alat-alat tato lebih memungkinkan orang yang sedang belajar mentato bisa mendapatkan hasil maksimal.

Sementara kalau dari segi motif gambar, kata Kent, hanya mengalami variasi dan evolusi saja. Namun, perkembangan gambar motif tato itu sangat dipengaruhi sekali oleh perkembangan alat-alat tatonya sendiri. Dulu, kata Kent, ketika alatnya terbatas maka perkembagang motif gambar tatonya pun cenderung monoton.

"Dulu karena alatnya masih tradisional jadi gambarnya juga masih blok-blokan jadi hanya terbatas pada tanda, stempel, logo, ya motif itu aja," bebernya.

Berbeda dengan era sekarang, dimana gambar tato itu sudah mengenal aspek gambar tiga dimensi. Perpaduan warna yang disuguhkan pun terbilang lebih banyak.

"Kalau dulu kan hanya terpaku pada warna merah, biru, dan hitam. Nah kalau sekarang varian warnanya lebih banyak, bisa putih, pink, ungu, hijau dan seterusnya, kurang lebih ada sampai 150 warna," ungkapnya.

Untuk jenis motif gambar yang paling diminati saat ini, Kent mengaku cukup sulit mengukur hal itu. Musababnya, ucap dia, khusus di studio tato miliknya, sebelum mentato klien biasanya terlebih dahulu melakukan diskusi dengan klien, tato apa yang cocok buat klien.

"Jadi tidak serta merta ketika si klien memberikan gambar langsung dikerjakan, tapi ada obrolan dulu perihal nilai tato itu sendiri," katanya.

Ada semacam edukasi yang diterapkan Kent kepada para klien ihwal nilai tato yang akan menempel permanen di kulit klien.

"Bahkan tidak jarang bikin tatonya hanya setengah jam sedangkan konsultasinya bisa sampai 3 jam, karena harus mantap dulu ketika akan ditato," cetusnya.

Meski begitu, kata dia, tak jarang ada juga klien yang ingin ditato terpaku kepada gambar lantaran banyak diminati orang sehingga terkesan ikut-ikutan.

"Itu namanya musiman, kalau sekarang sih udah gak zaman yang kaya gitu," katanya.

Tiap klien, kata dia, pasti berbeda-beda motif gambar yang diinginkan. Hal itu, disesuaikan dengan kecocokan klien dengan gambar atau motif tato yang akan dibikin tatoist.

"Misalkan, ada klien yang ingin ditato tengkorak karena dirinya merasa penakut, jadi dia tidak ikut-ikutan sama yang lain dong karena nilainya pasti berbeda," ujarnya.

Kent Tatto Studio memiliki ciri khas dalam tatonya. Kent mengusung dua istilah nama bagi jenis motif gambar yang yang menjadi daya tarik orang untuk ditato di studio miliknya. Keduanya yaitu Bio Organic dan Energi.

Untuk Bio Organic lebih mencitrakan gambar abstrak namun syarat dengan perpaduan warna juga shading sehingga menghasilkan efek tiga dimensi.

Sementara, Energi lebih mengarah kepada simbol-simbol yang memiliki arti tersendiri bagi orang yang memasang tato jenis Energi di tubuhnya.

"Kalau Energi biasanya kebanyakan kecil, seperti logo segitiga terus dipadukan dengan bentuk garis bulat yang terpisah," ungkapnya.

Adapun tarif biaya yang dikenakan kepada klien, Kent biasanya mengitung besaran tarif berdasarkan hitungan per centimeter. Alasannya, agar klient tidak merasa dirugikan, karena kalau tarif per jam tidak jarang klien mengeluh lantaran proses pengerjaan yang sengaja dilama-lama oleh tatoist.

Tarif per centimeternya, di kisaran harga Rp 900 ribu. Kenaikan tarif pun dikenakan ketika klien memilih agar tatoist melakukan improvisasi dalam pengerjaan tato.

"Untuk harga sih sebetulnya hanya formalitas saja, kalu udah kesini terus orangnya pengen ditato dan gak punya cukup uang gak bayar juga gak jadi masalah, namanya juga bekerja di seni ya gak ada patokan harga, kita welcome," tukasnya.

Disinggung ihwal pendapatan rata-rata per bulan, Kent enggan membeberkan penghasilannya selaku tatoist.

"Gak tentu sih, jadi kalau disini banyaknya orang yang datang untuk ditato tidak menentukan pendapatan," katanya.

Kadang-kadang, kata dia, dalam jangka waktu sebulan, tidak ada sama sekali klien yang datang untuk ditato, tapi banyak rekan kongko-kongko Kent yang ingin ditato, dan Kent siap mentato tanpa dibayar sepeser pun.

Kini nama Kent kian populer di kalangan penggemar tato. Melalui karyanya dalam merajah kulit, puluhan penghargaan pun berhasil dia torehkan. Mulai dari pernghargaan sertifikat menjadi juri lomba tato, Musium Rekor Indonesia (Muri) hingga Guiness Book of World Record (Rekor dunia) pun kini terpampang di dinding studi tato miliknya.

Mentato bagi Kent tidak hanya sebatas mengais rezeki, lebih dari itu berkiprah di dunia tato merupakan perjalanan hidup penuh makna. Melalui tato, Kent tahu artinya berbagi dengan sesama. Dari goresan tinta yang dia gambar di atas media kulit, Kent bisa mengenal lebih dekat sang pencipta.

Menjadi tatoist atau tato artis, bagi pria kelahiran Bandung, 8 September 1972 itu, merupakan proses panjang yang tak kunjung usai.

"Kita tetap mengusung filosofi tidak berbisnis di kulit dalam tato ini tapi kita menghargai kulit dan Insyaallah untuk hasilnya itu sebagai upah dari yang di atas," tutupnya.

Kontributor : Aminuddin

Load More