Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Senin, 30 Mei 2022 | 22:00 WIB
Anggota Negara Islam Indonesia (NII) di Bandung menyatakan kembali ke Republik Indonesia. [Mildan Abdullah/Ayobandung.com]

SuaraJabar.id - Bergabung dengan Negara Islam Indonesia atau NII sejak 1995 lalu, Dede Suryana akhirnya memutuskan untuk kembali setia pada Republik Indonesia.

Ia dan puluhan anggota NII di Kabupaten Bandung lainya menyatakan kembali ke Republik Indonesia lantaran sudah tak betah jadi anggota NII.

Salah satu yang bikin mereka gerah jadi anggota NII adalah merasa jadi sapi perahan NII. Mereka harus menyetorkan sebagian penghasilan mereka untuk membiayai infak.

"Usia saya ketika masuk NII itu masih 17 tahun," ujar Dede ketika diwawancara pada Senin (30/5/2022).

Baca Juga: Terkuak Penyebab Warna Air Sungai Citarum Berubah Merah Darah

Perjalanannya masuk menjadi anggota NII karena keluarganya yang juga telah masuk terlebih dahulu. Bahkan dari 9 bersaudara, kata Dede, hanya dua kakak-adiknya yang tidak menjadi anggota NII.

"Satu saudara perempuan tidak masuk karena ikut suaminya. 1 orang lagi karena beda aliran. Orang tua juga masuk NII," ujarnya.

Setelah masuk NII, Dede pun berganti nama menjadi Abdul Rozak. Lama menjadi anggota, bahkan petinggi NII menjadikannya pejabat setingkat Camat.

"Menjadi camat itu tidak digaji. Memang katanya digaji, tapi yang saya terima hanya struknya, tidak dengan uang gajinya," ungkapnya.

Bahkan kata Dede, bukan pendapatan yang diterima, namun justru pengeluaran besar yang harus diberikan kepada para petinggi.

Dia menjelaskan, setiap bulan seluruh anggota diharuskan membayar infak yang tidak kecil. Infak tersebut ada yang bulanan, juga harian.

"Ada simpanan harian yang katanya bisa diambil setelah 5 tahun. Tapi kenyataannya selama saya menjadi anggota, uang tersebut tidak pernah bisa diambil," imbuhnya.

Selain itu, ada juga infak bulanan yang berasal dari pendapatan. Uang tersebut diambil oleh Dede sebagai Camat kepada seluruh anggotanya yang kemudian disetorkan kepada petinggi di atasnya.

"Infak tersebut ditarget. Kalau tidak terpenuhi, akan menjadi seperti hutang yang harus dibayarkan bulan berikutnya," katanya.

Karena tanggung jawabnya sebagai Camat, Dede kerap kali harus menanggung untuk membayar infak yang targetnya selalu naik.

"Dua rumah saya jual untuk menutupi target infak," ungkapnya.

Setelah dua rumah habis terjual, ketika target infak tidak terpenuhi, Dede dan anggota lainnya sampai melakukan tindak kriminal pencurian. Hal ini kata Dede seolah dihalalkan oleh para petinggi NII, karena beranggapan barang milik orang non-NII dihalalkan.

"Jadi mencuri dari orang non NII itu dibolehkan," ucapnya.

Lama menjadi anggota bahkan Camat NII, membuat Dede menjadi sadar kalau dirinya hanya dijadikan sapi perah oleh petinggi dengan infak yang harus dikeluarkan.

Selama menjadi pejabat, walaupun setiap bulan setor uang infak, namun dia tidak mengetahui distribusi uang hasil infak tersebut digunakan oleh siapa dan untuk apa.

"Tidak jelas digunakan untuk apa atau kepada siapa," katanya.

Pasalnya struktur NII sangat tertutup, Dede misalnya ketika menjadi Camat, hanya mengetahui rumah pejabat setingkat di atasnya, seperti Bupati, namun tidak mengetahui alamat pejabat Gubernur atau pimpinan pusatnya.

"Saya bisa insyaf juga karena sering berdiskusi dengan pihak luar. Jadi pikirannya terbuka. Di NII itu, dilarang juga berdiskusi dengan orang selain NII," terangnya.

Selama menjadi anggota NII, Dede mengaku memiliki ribuan umat yang seluruhnya diwajibkan memberi infak rutin. Infak tersebut yang menjadikan orang-orang NII berada di garis kemiskinan.

Load More