Scroll untuk membaca artikel
Galih Prasetyo
Kamis, 03 November 2022 | 12:05 WIB
PLTU 1 Indramayu yang berlokasi di Jl. Raya Sukra, Sumuradem, Kec. Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Suara.com/Danan Arya)

SuaraJabar.id - Matahari belum begitu terik saat Surmi (50) petani Desa Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat turun ke lahan persawahan milinya. Semangatnya tak kendur meski mata kirinya tak lagi normal.

Mata kiri Surmi saat ini tak lagi normal. Asap pembakaran batu bara PLTU 1 Indramayu jadi penyebab mata kiri Surmi tak bisa jernih melihat.

Surmi pun menceritakan saat kepulan asap pembakaran batu bara membuat mata kirinya tak lagi normal melihat.

Pagi itu kata Surmi, ia tengah turun ke lahan sawah miliknya. Ia dikagetkan dengan suara dentuman keras dari PLTU 1 Indramayu. Beberapa detik kemudian, cerobong yang menjulang angkuh keluarkan asap pekat.

Baca Juga: Kemenangan Rakyat Cirebon Makin Kuat, ESDM Didesak Cabut Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A

Surmi Petani di Desa Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat menceritakan kondisi mata kirinya yang terkena paparan asap pembakaran batu baru PLTU 1 Indramayu (Suara.com/Danan Arya)

Posisi Surmi tak jauh dari PLTU 1 Indramayu, ia kebingungan untuk menghindari asap tebal yang turun ke bawah seolah menyerang dirinya.

Pontang panting Surmi berupaya menghindar dari kepulan asap tersebut, namun nahas asap hitam menyelimuti dirinya dan mengenai bola matanya.

Setelahnya, kaca mata hitam jadi sahabat Surmi tiap hatinya. Gunakan kaca mata hitam setelah kejadian nahas itu tak membuat Surmi nyaman. Lambat laun, ia mencoba untuk tidak lagi gunakan kaca mata hitam.

“Engga (pakai kacamata), engga betah. Kalau sekarang engga pake kacamata bagaimana ga liat, terus silau-silau, kena angin, ga bisa melek. Jadi betah ga betah ya dijalanin,” kata Surmi kepada Suara.com

Soal pengobatan medis, Surmi mengaku bahwa mata kirinya sudah tiga kali operasi. Sedangkan untuk mata kanan sudah dua kali operasi. Hingga kini ia juga jalani pengobatan rutin.

Baca Juga: Rentetan Kiamat Warga Indramayu Pasca Tembok Beton PLTU Berdiri

Bagaimana soal biaya? Surmi harus merogoh koceknya. Tidak ada asuransi kesehatan, BPJS Kesehatan atau ganti rugi dari PLTU 1 Indramayu.

Semua biaya harus ditanggung sendiri oleh Surmi, termasuk untuk ongkos trasnportasi ke rumah sakit.

“Kalau pake mobil Rp 500 ribu, kalau ngojek abisnya Rp 300 ribu, sama bensin sama makan,” ucap Surmi.

Semenjak penglihatan matanya kabur, Surmi tak lagi bisa beraktivitas di sawah. Tugasnya saat ini hanya untuk mengantar makanan untuk sang suami.

“Gak bisa kerja sampai sekarang. Kalau ke sawah si bapak ya ngirim (makanan) aja, pulang lagi,”

Surmi hanya berharap penderitaan yang ia rasakan bisa dibayar dengan ditutupnya PLTU 1 Indramayu.

PLTU 1 Indramayu yang berlokasi di Jl. Raya Sukra, Sumuradem, Kec. Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Suara.com/Danan Arya)

Tidak hanya Surmi yang merasakan efek negatif dari asap pembakaran batu bara PLTU 1 Indramayu.

Warga lain di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukrak, Kabupaten Indramayu yang di kampungnya berdiri kokoh PLTU 1 Indramayu dengan kapasitas 3x330 Megawatt (MV) juga rasakan dampak langsung.

Udara segar di desa ini tak lagi dirasakan. Tiap harinya warga desa hanya melihat kepulan asap pembakaran batu bara dari corong PLTU 1 Indramayu.

Langit desa mereka gelap tertutup kepulan asap. Udara bersih bagi warga desa jadi barang mahal saat ini. Efeknya tentu saja penyakit pernafasan seperti ISPA atau Pneumonia dirasakan warga.

Menurut ketua jatayu Rodi (62), masyarakat di sekitar PLTU 1 Indramayu menderita ISPA dan Pneumonia. Penyebabnya tentu saja aktivitas pembakaran batu bara yang berlangsung 24 jam nonstop.

Tak tanggung-tanggung penyakit yang menyerang saluran pernafasan itu menyasar pada balita dan juga pria parubaya yang kondisi fisiknya sudah renta.

"Singkat kata kalau untuk penyakit-penyakit yang lain sudah di cek di tegal taman, nomer satu kalau penyakit ISPA, balita dan aki-aki, tapi sebagian besar balita," kata Rodi.

Lima tahun PLTU 1 Indramayu beroperasi, sejumlah kalangan dari mahasiwa kata Rodi sempat mendata desa-desa untuk mengetahui seberan penderita ISPA.

Awalnya, data masyarakat yang mengidap ISPA terpampang jelas di puskesmas Sukra Kabupaten Indramayu. Namun, saat ini data tersebut sulit diakses.

"Pihak-pihak yang kepentingan belum tau sehingga bisa membuktikan dan terpampang juga di puskesmas Sukra, dulu masih terpampang dengan meningkatnya ISPA itu flek," kata Rodi.

"tapi setelah kita butuhkan data itu, sudah di hilangkan data itu lenyap," sambung Rodi.

Tak Hanya Manusia, Ikan Pun Mati

PLTU 1 Indramayu yang berlokasi di Jl. Raya Sukra, Sumuradem, Kec. Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat mulai beroperasi sejak 2011. Selama itu juga sampai sekarang, warga alami dampak tidak hanya untuk mata pencarian mereka namun juga lingkungan.

Pembakaran batu bara selama 24 jam nonstop yang membuat udara kotor dan lahan pertanian rusak juga dialami masyarakat nelayan.

Dampak PLTU 1 Indaramayu tidak hanya dirasakan para petani, bergeser ke bagian Utara ternyata ada sebuah pemukiman penduduk yang di isi mayoritas adalah nelayan, berlokasi di Desa Ujung Gebang, Kecamatan Patrol Kabupaten Indramayu.

Ada 120 perahu di desa ini dan tangkapan utama para nelayan Ujung Gebang mulai dari ikan, udang hingga rajungan.

Jika petani rasakan dampak kehadiran PLTU 1 dua sampai tiga tahun setelahnya, nelayan di Desa Ujung Gebang langsung merasakan dampak saat awal pembangunan PLTU 1 Indramayu pada 2007.

Contohnya, saat pembebasan lahan berlangsung, tanah bekas kerukan yang akan dibangun PLTU 1 Indramayu dibuang secara langsung ke laut yang menyebabkan aktivitas biota laut terganggu.

Aji (46) salah satu nelayan di Desa Ujung Gebang menuturkan kapal tongkang yang mengangkut batu bara sering kali melintas di tempat dirinya mencari ikan.

Aji Nelayan Desa Ujung Gebang menunjukkan kondisi perairan yang terkena dampak pasca berdirinya PLTU 1 Indramayu (Suara.com/Danan Arya)

Menurut Aji yang sudah melaut sejak tamat sekolah dasar, aktivitas menjaring ikan sangat terganggu. Ia pun terpaksa menghindar saat kapal tongkang berada di sekitarnya.

Tak hanya aktivitas melaut jadi terganggu. Warga Desa Ujung Gebang juga tiap bulan harus melihat kebakaran tiap bulannya.

Bukan kebaran di tempat tinggal mereka, namun kebakaran kapal Tongkang yang membawa batu baru. Menurut Aji, hampir tiap bulan selalu ada kapal tongkang yang terbakar di perairan desa Ujung Gebang.

Aji bercerita tempat tinggal selalu diselimuti kepulan asap hitam dan serpihan bekas pembakaran batu bara yang berterbangan mengikuti arah mata angin.

Kapal tongkang yang melintas di perairan Ujung Gebang selalu bermuatan lebih kata Aji. Akibatnya banyak batu bara yang jatuh dan membuat jaring nelayan rusak. Bukan ikan yang dijaring malah batu bara yang didapat.

"Jadi ya tadi air tuh berubah hangat, mungkin ikan pada mati, terus tumpahan batu bara yang saya tau ini, karena sering batu bara nyangkut ke jaring," jelas Aji.

Sejak itu ekosistem di bawah laut sangat terganggu dengan adanya PLTU 1 Indramayu, hasil tangkapan para nelayan juga merosot dan banyak dari mereka memutuskan untuk tidak kembali ke laut.

Sebelum PLTU itu berdiri, Aji mengaku sekali melaut dapat rata-rata lima kilogram sehari. Saat ini, satu kilogram pun sangat sulit.

"Ya memang berbeda, dulu sebelumnya ada PLTU masyarakat nelayan cari ikannya sangat mudah,Ya penghasilnya cukup untuk menafkahi keluarga Dan sekarang sejak adanya PLTU 1 nih ya berubah pendapatannya, menurun," ucapnya.

Ikan bawal putih dengan ukuran 5 ons yang biasanya mudah ditemui, sekarang menjadi sangat sulit untuk di tangkap pasalnya harga ikan tersebut terbilang mahal bisa di hargai 300.000/kilogram.

Aktivitas menangkap ikan warga Desa Ujung Gebang sebelum kehadiran PLTU 1 dilihat dari dua musim, musim barat dan timur.

"Di bulan akhir 12, 1, 2, dan 3 musim barat, minggir lagi ini nangkap ikan dan udangnya tidak jauh 3 akhir,4, dan 5, ke tengah lagi,"

Sedangkan di musim timur menangkap ikan secara tidak jauh ada dibulan Juni, Juli, Agustus, September selanjutnya Oktober, November, Desember nelayan kembali mejauh dari bibir pantai.

"Bisanya kalau musim timur, udang minggir, panen lah ya. Menangkap ikannya di bibir pantai, takeran ikan dan udang terdorong ombak, itu dapat di bulan 6,7,8,9.Dibulan 10, 11, 12 adanya di tengah karena tenang posisinya," sambung Aji.

Kondisi Desa Nelaya di Ujung Gebang, Indramayu, Jawa Barat (Trend Asia)

Akibat kehadiran PLTU 1 Indramayu, Aji kadang enggan untuk melaut. Ia mengaku akan merugi jika modal bahan bakar tak sebanding dengan hasil tangkapan. Ia pun kadang alih profesi menjadi petani atau buruh harian lepas demi menyambung hidup.

"Ya kerja di pertanian, kadang di bangunan apa saja, ada juga masyarakat sini yang ikut kapal besar cari ikan sampai Papua," keluh Aji.

Keluhan tak jauh berbeda juga diungkap oleh Mitra (37), perajin terasi. Ia mengeluh tangkapan udang sejak ada PLTU 1 Indramayu menurun drastis.

Mitra mengungkap sebelum adanya PLTU 1 dirinya bisa mendapatkan udang rebon sekitar 30 Kilogram akan tetapi sekarang untuk mencari lima kilogram saja sudah sangat sulit.

Lahan yang awalnya luas untuk mencari udang rebon kini menyusut akibat bangunan PLTU 1 Indramayu, oleh sebab itu 80 nelayan rebon dibagi waktu dalam mencari rebon.

"Dulu mah enak, artinya lahannya kan luas tapi kalau sekarang mah saya juga kalau secara pergantian shift nya saya tuh malem. Iya kan lahannya sedikit, jadi dari pagi-sore. Nah giliran saya sore sampai jam 12 malam jam 1. Jam 2 pulang nyari udang di bibir pantai," ucap Mitra.

Shif-shif untuk mencari udang rebon mulai dijalankan warga Desa Ujung Gebang sejak PLTU 1 Indramayu beroperasi.

"Ya kita kan punya ide, kalau kita dibarengin mencari udang rebon setiap pagi, kemungkinan orang tua itu gak kebagian jadi lebih baik kita mengalah supaya sama-sama dapat. Walaupun dapatnya engga seberapa," ungkapnya.

Kontributor : Danan Arya

Load More