Andi Ahmad S
Jum'at, 05 Desember 2025 | 03:50 WIB
Foto udara sampah dari kayu gelondongan yang hanyut di danau Singkarak di Nagari Muaro Pingai, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Wawan Kurniawan/Lmo/nz]
Baca 10 detik

Banjir destruktif di Sumatra diindikasikan kuat oleh Prof. Bambang Hero Saharjo karena aktivitas manusia, bukan faktor alami. Kayu gelondongan pascabencana menunjukkan adanya pembalakan liar yang merusak pertahanan hutan.

Hutan sehat berfungsi sebagai 'spons dan payung' (tajuk rapat & serasah) untuk mitigasi bencana. Hilangnya fungsi tajuk akibat penebangan ilegal membuat air menghantam tanah, memicu erosi dan longsor.

Aktivitas pembalakan liar adalah biang kerok utama yang mengubah fungsi hutan. Kayu-kayu tebangan yang hanyut menjadi "rudal alami" penghancur pemukiman saat banjir, menandakan kegagalan sistem ekologi.

SuaraJabar.id - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Sumatra belakangan ini bukan sekadar cerita tentang curah hujan yang tinggi.

Di balik duka yang mendalam, tersimpan tanda tanya besar mengenai asal-usul material yang menghancurkan rumah warga. Apakah ini murni bencana alam, atau ada campur tangan keserakahan manusia?

Menjawab keresahan publik, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan sekaligus Kepala Pusat Studi Bencana IPB University, Prof. Bambang Hero Saharjo, memberikan analisis yang sangat menohok.

Berdasarkan pengamatan ahli, bencana ini meninggalkan jejak digital alam yang tidak bisa bohong.

Berikut adalah 3 fakta paling parah dan mengerikan di balik bencana Sumatra yang diungkap oleh Prof. Bambang:

1. 'Rudal' Kayu Gelondongan yang Mencurigakan

Fakta pertama yang menjadi red flag adalah jenis material yang hanyut. Banjir bandang kali ini membawa tumpukan kayu-kayu besar atau gelondongan yang menjadi senjata mematikan bagi pemukiman di hilir. Menurut Prof. Bambang, karakteristik kayu tersebut sangat mencurigakan.

Kondisi kayu-kayu tersebut tidak sepenuhnya dapat dijelaskan sebagai kayu lapuk atau dampak runtuhan alami semata. Indikasi keterlibatan aktivitas manusia alias illegal logging sangat kuat.

“Kayu-kayu besar yang ditemukan pascabencana merupakan konsekuensi dari rusaknya lapisan-lapisan vegetasi akibat aktivitas manusia tersebut,” tegas Prof. Bambang dalam pesan yang diterima SuaraBogor, Kamis 4 Desember 2025.

Baca Juga: Banjir Sumatera Bukan Murni Bencana Alam, Pakar IPB Sebut 'Pesan Kematian' dari Pembalakan Liar

Kayu-kayu sisa tebangan inilah yang kemudian terseret arus dan berubah menjadi "rudal alami", menghantam apa saja yang dilewatinya dengan kekuatan destruktif yang luar biasa.

2. Rusaknya 'Payung Raksasa' Penahan Hujan

Fakta kedua berkaitan dengan hilangnya fungsi ekologis hutan. Prof. Bambang mengajak kita kembali ke pelajaran dasar: hutan sehat adalah spons dan payung raksasa. Struktur tajuk yang rapat dan bertingkat adalah kunci pertahanan pertama.

“Walaupun ada air, dia tidak langsung ke permukaan. Dia jatuh di tajuk, pecah, kemudian sebagian mengalir melalui batang atau stem flow,” jelasnya.

Namun, ketika penebangan liar terjadi, "payung" ini robek. Celah antar tajuk terbuka lebar. Akibatnya, air hujan menghujam tanah tanpa penghalang, memicu erosi instan yang tak tertahankan oleh tanah.

“Pada kondisi seperti ini, ketika pembalakan liar masuk, maka celah antara tajuk semakin terbuka,” ungkapnya.

Load More