SuaraJabar.id - Minoritas kerap didefinisikan dengan jumlah kecil dan secara kekuasaan lemah, lantran itu pembelaan pada kelompok minoritas menjadi sikap yang seharusnya ditunjukan umat beragama atau cendekiawan untuk menegakan keadilan dan mendapatkan haknya.
Demikian diungkapkan Pengurus Pusat Muhammadiyah sekaligus Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Najib Burhani dalam pemaparan hasil penelitiannya dalam buku 'Menemani Minoritas'.
Najib mengatakan buku tersebut memaparkan perkenalannya dengan ragam komunitas minoritas, khususnya minoritas keagamaan di Indonesia, dengan memotret langsung keseharian kegiatan kelompok tersebut.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam buku tersebut adalah Ahmadiyah, komunitas muslim yang sudah dikenalnya selama 14 tahun. Ia pun telah menyaksikan dan menjalani kegiatan keagamaanya.
Baca Juga:Sehari Puasa Ramadan Bersama Jemaah Ahmadiyah
"Salah satu inti pembahasan itu, kita sering lihat Ahmadiyah dengan dari sisi persepektif A dari persepktif B. Tapi ada sebagian masyarakat yang tidak bisa menerima konsep-konsep itu, kita perlu melihat perspektif yang lain, yang menegakkan keagamaan, yang theologis dalam membaca tentang Ahmadiyah," kata Najib, di Gedung Baitul Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (18/5/2019).
Najib sebagai peneliti pun mengikuti berbagai kegiatan keagamaan muslim Ahmadiyah seperti Jalsah (pertemuan tahunan) Ahmadiyah baik di Indonesia maupun di tempat awal berdirinya Ahmadiyah, yakni Qadian, India. Bahkan, bertemu dengan pemimpin tertinggi Muslim Ahmadiyah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad yang diyakini sebagai Khalifah Muslim Ahmadiyah seluruh dunia.
Menurutnya, tidak ada perbedaan sama sekali antara Muslim Ahmadiyah dengan kelompok muslim pada umumnya, kecuali keyakinan Imam Mahdi telah turun pada wujud pendiri Ahmadiyah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
Kemudian, setelah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat, kepemimpinan Muslim Ahmadiyah dilanjutkankan dalam bentuk Khilafat Spiritual dengan pemimpin tertingginya saat ini adalah Khalifah V yang bernama Hazrat Mirza Masroor Ahmad.
"Jadi buku 'Menemani Minoritas' ini mendasarkan kepada pendekatkan teologis tidak hanya HAM dan citizenship. Sebagian orang tidak dari kelompok Islam itu. tidak mau menerima konsep-konsep itu. Indonesia seperti sulit melihat mereka yang berbeda baik etnis, suku secara agama dan pemahaman agama dari satu agama. Kita perlu untuk lebih terbuka dari perbedaan itu dengan Bhineka Tunggal Ika bukan secara diskriminasi," ungkapnya.
Baca Juga:Potret Langka, Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah Indonesia Buka Puasa Bersama
Ia berharap, konstitusi Bangsa Indonesia harusnya melindungi perbedaan tersebut menjamin warganya dalam beragama serta memiliki keyakinan.
- 1
- 2