Setelahnya, pada 1970, sepulangnya Mang Haji—panggilan Fuad, menimba ilmu dari Ponpes Lasem, Jawa Tengah, ia diberi mandat untuk meneruskan sekaligus mengganti peran bapaknya, Abah Haji Rifai sebagai pengasuh Ponpes Al-Ittifaq.
Mang Haji mulai merubah kurikulum pesantren di awal kepemimpinannya. Pemikirannya sederhana, yaitu bagaimana caranya pesantren sebagai tempat mengaji para santri bisa lebih mandiri. Kala itu, ucap Irawan, tentu bukan pekerjaan mudah bisa menghidupi puluhan santri yang belajar di pesantren Al-Ittifaq.
"Saat itu santri semakin banyak, sedangkan yang namanya pesantren apalagi salafiyah memang kita tidak mengenakan biaya, jadi orang tua mengirimkan anaknya ke pesantren, maka jadi tanggungan pesantren," bebernya.
Mang Haji memberikan contoh kepada santrinya agar bisa memaksimalkan potensi lahan yang dimiliki pesantren, untuk dijadikan tempat bercocok tanam. Kebetulan Alam Endah merupakan kawasan pertanian dataran tinggi, maka jenis sayuran dataran tinggi dipilih oleh Mang Haji kala itu.
Baca Juga:Ketahanan Pangan Desa Sumurgeneng dan Wadung Tuban, Anti Lapar saat COVID
"Konsep awalnya mah Mang Haji selalu bilang kalau bisa membuat, bisa menghasilkan sendiri kenapa harus membeli. Dari prinsip awal itu pertanian terus berkembang, luas lahan makin bertambah, keilmuan pertanian juga makin modern," katanya.
Al-Ittifaq kini memiliki luas lahan pertanian sekitar 11 hektar. Sebagian besar berada di sekitaran pondok pesantren. Al-Ittifaq bisa dibilang menjadi role model pesantren yang mandiri di sektor pangan. Untuk menghidupi santri sebanyak kurang lebih 550 orang, mereka mengandalkan hasil pertanian dan peternakan.
"Kita juga dapat hibah dari Perhutani seluas 30 hektar itu statusnya HGU, dan sedang ditanami kopi," ungkapnya.
Bahkan, akibat surplus hasil pertanian, Kopontren Al-Ittifaq bisa menjual sayuran ke pasar tradisional dan swalayan di wilayah Bandung dan Jakarta. Terkini, Al-Ittifaq mampu menjual sebanyak 63 jenis sayuran dan buah-buahan menuju pasar modern.
Per hari, Kopontren Al-Ittifaq mampu menyuplai sebanyak 3,2 ton sayuran menuju pasar dengan persentase sebanyak 60 persen menuju pasar tradisional, dan sisanya menuju swalayan, restoran, dan yang lainnya.
Baca Juga:Ketahanan Pangan Indonesia Tergantung Besar Kecilnya Impor
Butuh puluhan tahun bagi Al-Ittifaq bisa mandiri bahkan menjadi bagian kecil dalam menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Jangkauan pasar yang mampu diakses Al-Ittifaq pun terbilang sudah semakin luas. Tingginya permintaan sayuran dari pasar, membuat Al-Ittifaq terus berevolusi menjadi semacam pemasok sayuran dengan mengandalkan jaringan Ponpes.