SuaraJabar.id - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi kasus terbanyak yang ditangani Yayasan Sapa Institute di Kabupaten Bandung sepanjang 2020 ini.
Yayasan Sapa menangani 5o kasus kekerasan pada Januari-Oktober 2020. Di antaranya adalah kasus kekerasan seksual (KS), kekerasan dalam pacaran (KDP) dan yang lainnya.
Dari jumlah itu, ada kasus KDRT sebanyak 41 kasus pada periode itu. Puncak kasus terjadi pada Juli dengan jumlah kasus mencapai 12 kasus.
Sisanya KDP, KS dan kekerasan terhadap Pekerja Buruh Migran (PMI) masing-masing menyumbang 2 kasus, ditambah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) berjumlah 3 kasus.
Dari sisi pekerjaan korban, ibu rumah tangga (IRT) menjadi kelompok yang paling banyak mengalami kekerasan dengan jumlah sebanyak 30 orang.
Baca Juga:Bertahan di Tengah Pandemi dengan Bisnis Lukis Sepatu
Sisanya, perempuan yang berprofesi sebagai buruh pabrik berjumlah 4 orang, buruh harian lepas, wiraswasta, karyawan swasta dan pelajar masing-masing 3 orang, ditambah pedagang dan mahasiswa yang masing-masing berjumlah 2 orang.
Sementara itu, dari sisi relasi pelaku dengan korban, kategori suami menjadi yang terbanyak melakukan kekerasan terhadap korban dengan jumlah 38 orang. Adapun rentang usia korban kekerasan tebanyak dialami oleh rentang usia 25-40 tahun dengan jumlah 21 korban.
Meskipun tidak signifikan, tapi terjadi kenaikan kasus KDRT dibandingan dengan dua tahun sebelumnya. Pada 2019, kasus KDRT yang ditangani Sapa mencapai 38 kasus dari jumlah total kasus kekerasan sebanyak 57 kasus. Sementara pada 2018, kasus KDRT berjumlah 28 kasus dari total kasus kekerasan yang ditangani sebanyak 44 kasus.
Koordinator Program Yayasan Sapa Institute, Dindin Syarifuddin mengatakan, gambaran data itu bisa diasumsikan bahwa semakin kesini pemahaman masyarakat khususnya di Kabupaten Bandung lebih meningkat tentang masalah kekerasan terhadap perempuan.
Hal itu tergambar dari jumlah kasus yang ditangani yang terus meningkat berdasarkan laporan yang diterima Sapa.
Baca Juga:Kreativitas Bisnis Lukis Sepatu Bertahan di Tengah Pandemi
“Masyarakat mulai berani dan melaporkan kasus kekerasan yang diterima, mereka lebih melek karena mereka paham akan hak-haknya, akan kekerasan yang diterimanya,” ucapnya.
“Masyarakat mulai ngeh (sadar) misalkan dari sisi lingkungan, dulu yang lapor biasanya korban, tapi sekarang tetangga atau keluarga udah berani lapor, artinya lingkungan mulai ngeuh akan isu ini, walau korban tidak berani lapor tapi lingkungan yang justru merespon,” bebernya.
Namun, kata dia, di sisi lain pandemi menjadi semacam triger untuk korban melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya. Berdasarkan keterangan korban, ucap dia, KDRT memang sudah lama terjadi bahkan jauh-jauh hari sebelum adanya pandemi, tapi intensitas kekerasan yang dialami korban memuncak ketika pandemi berlangsung.
“Meski ada kenaikan tapi penambahan korban memang tidak terlalu signifikan, cuma intensitas kekerasan yang dialami korban memang meningkat berdasarkan hasil asesmen terhadap korban. Misalkan korbannya tetap sama (tidak bertambah) tapi memiliki kasus kekerasan sampai beberapa kali, berdasarkan laporan kasus kan itu bertambah,” cetusnya.
KDRT meningkat di masa pandemi
Baru-baru ini Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan survei tentang dinamika perubahan rumah tangga semasa pandemi akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Teknis pengumpulan data dilakukan secara daring dengan jumlah responden sebanyak 2.285 orang yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia. Suara.com mendapat salinan hasil survei itu dari Yayasan Sapa.
Hasil survei itu salah satunya menyimpulkan perempuan menjadi kelompok paling rentan yang mendapatkan KDRT semasa pandemi, dibandingkan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan peran gender yang disematkan kepada perempuan seperti pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab terbesar dan dibebankan kepada perempuan.
Sejak pandemi, ada sebanyak 10,3 persen responden mengaku hubungan mereka dengan pasangan semakin tegang, di mana responden yang mempunyai status menikah lebih rentan daripada yang tidak menikah.
Selain itu, adanya keterkaitan antara penghasilan ekonomi responden dengan tingkat keharmonisan rumah tangga semasa pandemi, di mana responden yang memiliki penghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan menyatakan hubungan dengan pasangan lebih tegang semasa pandemi.
Kekerasan terjadi terhadap responden yang memiliki pengeluaran bertambah dan mempunyai penghasilan di bawah Rp 5 juta. Sebanyak 80 persen responden menyatakan sering mendapat kekerasan. Artinya faktor ekonomi menjadi salah satu pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Solusi untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan
Selain memberikan pelayanan pendampingan terhadap korban kekerasan, Yayasan Sapa pun melakukan berbagai program untuk menekan jumlah kekerasan yang dialami perempuan.
Dindin mengatakan pemahaman akan isu-isu perempuan memainkan peranan penting di masyarakat untuk menghilangkan budaya kekerasan. Makanya, kata dia, Yayasan Sapa membentuk simpul komunitas yang rutin mensosialisasikan pemahaman tentang isu-isu perempuan.
“Kami lakukan pendidikan publik kepada masyarakat tentang isu-isu perempuan, salah satunya kekerasan. Itu agar masyarakat paham terkait isu-isu perempuan,” katanya.
“Kami punya komunitas, jadi pendidikan publik itu dilakukan komunitas seperti pertemuan rutin, sosialisasi di masyarakat, ada kader PKK, pengajian, hingga balai istri. Di awalnya komunitas itu kita kuatkan dulu dari sisi pemahaman dan sisi keterampilan, setelah kuat mereka mulai bergerak sendiri dari sisi edukasi di masyarakat,” tambahnya.
Ia melanjutkan, Yayasan Sapa pun melakukan pengawalan kebijakan yang dijadikan sebagai payung hukum kegiatan yang terfokus untuk isu-isu perempuan.
Di antaranya, Yayasan Sapa rutin mendorong agar pemerintah di tingkat lokal dari tingkat desa hingga Kabupaten membuat peraturan daerah terkait perlindungan perempuan.
”Di tingkat nasional yang kita usung sekarang itu RUU tentang penghapusan kekerasan seksual (PKS). Yang kita kawal bukan dari sisi kebijakannya saja tapi dari sisi pemahaman. Ini menjadi sangat penting supaya nanti yang dikeluarkan pemerintah memang berdasarkan pemahaman masyarakat tentang isu-isu perempuan,” imbuhnya.
Menurutnya, pengesahan RUU PKS ini sangat penting guna menghapuskan tindakan kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual dan KDRT. Beberapa poin yang menjadi sorotan di antaranya tentang kepastian jeratan pidana bagi pelaku yang dikategorikan menjadi tindakan pidana khusus dimana deliknya menjadi pidana tindakan kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
RUU PKS pun mengatur masalah jenis-jenis tindakan kekerasan yang lebih spesifik yang meliputi 9 jenis kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, ekploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, dan pemaksaan pelacuran yang nantinya akan diatur dan dirumuskan pidananya dalam RUU itu.
Selain itu, RUU PKS pun mengakomodasi masalah pencegahan kekerasan seksual dan mengatur pula terkait perlindungan, hak saksi dan korban juga pemulihan korban.
Makanya, Yayasan Sapa menggarap agenda rutin menggandeng organisasi masyarakat yang menolak RUU PKS. Dindin mengaku sangat penting upaya sosialisasi terhadap masyarakat yang notabene acuh terhadap RUU PKS.
“Kami ajak diskusi mereka karena selama ini kami menduga ada semacam mispersepsi tentang RUU itu di kalangan ormas Islam yang dalam tanda kutip menolak atau misalkan menolak sebagian,” tukasnya.
Terkini, nasib RUU PKS direncanakan untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2021, nanti. Sebelumnya RUU itu keluar dari Prolegnas prioritas 2020, karena beberapa alasan yang disodorkan politikus Senayan semisal kebingungan membuat judul hingga bentrok dengan finalisasi KUHP.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pelayanan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung Yadi Setiadi mengatakan pihaknya pun baru saja menetapkan Peraturan Bupati (Perbup) nomor 120 Tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Perbup itu salah satunya dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah Kabupaten Bandung untuk mengatasi masalah KDRT.
“Bulan November (2020) kemarin baru keluar, sudah diteken pak Bupati (Dadang Naser),” bebernya.
Meski begitu, kendala yang dihadapi dan masih menjadi pekerjaan rumah Yayasan Sapa, yakni adanya semacam kemerosotan pemahaman di tingkat pemerintah lokal. Saat pemahaman masyarakat meningkat, justru pihak pemerintah lokal masih menganggap kasus kekerasan sebagai aib.
“Kadang dukungan dari pemerintah masih sangat dirasakan kurang mungkin ini terkait dengan citra dari pemerintah. Kadang dari pemerintah di tingkat lokal RW atau Desa bukannya mereka mendukung korban untuk melapor justru menutup-nutupi karena anggapannya terkait dengan citra yang akan buruk,” katanya.
Pemerintah pun terkadang tidak maksimal dalam memberikan pelayanan terhadap korban kekerasan. Misalnya dalam memfasilitasi tempat tinggal sementara korban yang dibatasi sampai 21 hari saja. Setelah masa itu habis, beres atau tidak beres korban terpaksa harus meninggalkan shelter yang disediakan pemerintah dalam hal ini P2TP2A.
“Makanya terkadang kami ambil alih lagi penanganan korban dan itu membutuhkan biaya yang cukup besar semisal pengadaan rumah aman ataupun shelter,” kata dia.
Menanggapi hal ini, Yadi mengatakan pembatasan fasilitas itu memang sudah sesuai prosedur standar yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, kalau memang sangat mendesak sebetulnya korban bisa lebih lama tinggal di shelter DP2KBP3A.
“Itu kan emang semua shelternya ada batasannya karena kan biaya juga kan kita maksimalkan pelayanan seperti layanan psikolog, pendampingan jadi itu bisa dimaksimalkan. Kalau misalkan diperlukan bisa nambah tapi kalau sampai berbulan-bulan mah agak repot juga karena kan kasus masuk ada yang lain juga,” ucapnya.
Yayasan Sapa sendiri saat ini masih belum memiliki shelter atau rumah aman sendiri. Untuk menampung korban, biasanya Yayasan Sapa menyewa rumah yang nantinya dijadikan sebagai shelter atau rumah aman. Sementara, Pemerintah Kabuapaten Bandung memiliki shelter sebanyak 5 kamar.
Selain itu, di kala pandemi, pendampingan pun mendapat kendala yang cukup besar. Pendamping diharuskan mengikuti protokol kesehatan dalam melakukan pendampingan langsung terhadap korban, semisal melengkapi diri dengan APD dan yang lainnya. Pendamping pun berisiko lebih besar untuk tertular virus Corona.
“Kendala lain intensitas kita untuk berkomunikasi dengan korban kan sangat terbatas saat ini. Terus pendalaman akan sangat berbeda sekali asesmen dari daring dibanding dengan tatap muka langsung. Kita kalau tatap muka kan dari wajah saja kita bisa ketauan tapi kalau online kan kurang,” ucapnya.
Kepala Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Jawa Barat Anjar Yusdinar mengatakan urusan angka memang terjadi kenaikan kasus tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak semasa pandemi. namun, untuk urusan pelayanan lagi-lagi salah satu kendala yang dihadapi Pemprov Jawa Barat yakni adanya pemangkasan anggaran untuk UPTD PPA karena fokus anggaran dialokasikan untuk penanganan Covid-19.
“Kadang-kadang kendala di kami itu apalagi semasa pandemi itu alokasi anggaran itu terfokus untuk prioritas penangan Covid-19, sehingga untuk anggaran lainnya adanya penyesuaian lagi. Ada pengurangan anggaran,” ujarnya.
Sementara di Kabupaten Bandung pun anggaran penanganan masalah isu-isu perempuan mengalami pengurangan lantaran anggaran dialihkan untuk penanganan pandemi Covid-19. Yadi mengatakan penyusutan anggaran itu mencapai 50 persen dari total anggaran yang sebelumnya disiapkan untuk DP2KBP3A Kabupaten Bandung.
“Terkait anggaran iya memang direfocusing. Pengurangannya sekitar 50 persen dari anggaran tahun ini. Untuk tahun depan ada peningkatan dari perencanaan anggaran,” bebernya.
Kontributor : Aminuddin