Kekerasan berbasis gender dari dunia nyata pindah ke maya. Pelecehan-pelecehan tanpa sentuhan fisik di dunia nyata seperti cat calling, sambung Siti Aminah mencontohkan, berpindah ke dunia maya dengan bentuk sexting, komentar yang melecehkan.
Pola selanjutnya, KBGO dijadikan sebagai pintu masuk untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan secara offline. Pendekatan memperdaya korban dengan cyber grooming, mengacu pada laporan kasus yang diterima Komnas Perempuan, bermula dari berkenalan melalui media sosial facebook, berpacaran, berlanjut bertemu di dunia nyata yang kemudia korban mendapat kekerasan seksual paksaan, perkosaan.
Ketika hendak dilaporkan pelaku menghilang, tidak dapat dilacak.
Menurut Aminah, kasus ini banyak menimpa remaja. Cyber grooming dapat dicirikan berupa permintaan pelaku terhadap korban untuk melakukan aktivitas seksual dengan mengiriminkan foto dan video yang diikuti ancaman.
Baca Juga:Gereja Pecat Pendeta Suarbudaya, Diduga Lakukan Kekerasan Seksual
Pada kasus satu yang menimpa remaja di Kota Bandung, pelaku yang merupakan seorang guru menggunakan akun dengan nama berbeda di media sosial untuk berkomunikasi dengan korban. Pelaku memanfaatkan foto korban yang tidak mengenakan jilbab untuk mengintimidasi dan melakukan perkosaan di dunia nyata.
“Korban diancam fotonya yang tidak memakai jilbab akan disebarluaskan. Kalau tidak mau foto itu disebarkan, maka korban harus menemui pelaku kemudian diminta untuk berhubungan seksual. Ini terjadi selama 4 tahun,” ungkap perempuan yang akrab disapa Ami ini mencontohkan kasus yang pernah terjadi di Bandung.
Pola ketiga KBGO menjadikan dunia maya sebagai pintu masuk ke kekerasan seksual pada bentuk lain. Pemerasan, misalnya, dilakukan dengan ancaman penyebaran konten intim korban, sehingga korban harus membayar, “Ya kalau kamu tidak mau (disebar), ya bayar!” Ami mengisahkan kasus lainnya.
Ancaman penyebaran konten intim juga sering digunakan sebagai alat mengontrol perempuan. Jika korban tidak mau lagi berhubungan intim dengan pelaku, maka foto dan videonya akan dikirimkan kepada orang tua, rekan kerja atau lainnya. Sementara pada relasi rumah tangga, lanjut Ami, cara ini digunakan oleh laki-laki untuk melakukan kontrol dengan mengancam istri untuk membatalkan gugatan cerai.
Terakhir, financial abuse. Korban dan pelaku telah memiliki hubungan, pacaran, lalu dimintai sejumlah uang untuk beli tiket. Atau, Ami menceritakan kasus selanjutnya, dengan meminta korban mengambil barang di imigrasi dengan dalih pelaku mengirim barang namun tertahan. Atau juga untuk pemenuhan wanprestasi, misalnya suami memiliki pinjaman online, tetapi tidak mampu bayar. Lalu, istrinya dijadikan korban untuk membayar dengan layanan seksual.
Baca Juga:Rifka Annisa: Kekerasan Seksual di Bantul Harus Ditangani Serius
Catatan Redaksi: Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.