SuaraJabar.id - Nenti (50) warga Desa Dadap Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu punya selera kuliner yang beda dari kebanyakan orang. Perempuan ini doyan mengonsumsi silet.
Makanan favorit Nenti memang tak lazim. Namun tajamnya mata silet tak sedikit pun membuat mulut, lidah dan saluran pencernaannya terluka.
Ia mampu mengonsumsi silet berjumlah besar dalam sehari. Bila tak memakannya, dia justru mengaku merasa mual dan pusing.
Bersama sang suami, Dalih, Nenti tinggal di toilet umum yang sudah tak lagi terpakai di Blok Lapang, Desa Dadap, setelah rumahnya ambruk terimbas bencana alam. Dalam kesehariannya, pasangan suami istri itu bertahap hidup dengan memulung sampah.
Baca Juga:Boiler Pertamina Balongan Keluarkan Asap Hitam, Warga Panik
Sekalipun dihadapkan pada kesulitan ekonomi, Nenti lebih memilih diberi silet ketimbang uang. Baginya, silet lebih memberi energi.
Namun begitu, dia tetap harus memperhatikan kebutuhan suami yang mengonsumsi makanan sebagaimana lazimnya. Sebagai pemulung, mereka pun tak bisa memperoleh banyak, hanya cukup pada satu hari atau bahkan kurang.
Sayangnya, mereka tak bisa berbuat banyak kecuali melakoni pekerjaan yang ada. Di toilet umum itu pun, mereka kekurangan air minum.
Meski tersedia tangki air di sana, keduanya tak beroleh akses karena dianggap bukan warga setempat. Karenanya, Nenti dan Dalih terpaksa menampung air hujan sebelum meminumnya.
Nenti sendiri memang bukan warga setempat, melainkan tercatat sebagai warga Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Keberadaannya di Indramayu sebab mengikuti sang suami yang kelahiran Indramayu.
Baca Juga:Foto Menara Masjid Syech Abdul Manan Islamic Center Roboh
Tak diketahui pasti asal Dalih, mengingat dia enggan memberitahu. Keduanya terkesan layaknya nomaden.
Setelah rumahnya ambruk diterjang angin dan hujan, mereka sempat tinggal di area pekuburan. Mereka kemudian menemukan tempat yang dianggap lebih layak dengan atap dan lantai yang bisa ditinggali pada area toilet umum terbengkalai di Desa Dadap, sampai kini.
Kebiasaan memakan silet berawal kala Nenti memilih profesi sebagai seniman jaran (kuda) lumping. Selain silet, seniman pada kesenian tradisional ini pula kerap memakan benda tajam lain, semisal pecahan kaca.
Untuk ini, Nenti beroleh tempaan ilmu Kanuragan, salah satunya kekebalan. Dengan begitu, dia bisa memakan apa saja sesuai perannya dalam jaran lumping, tanpa menyebabkan luka pada bagian mulutnya.
Selama sekitar 25 tahun Nenti menjalani kehidupannya sebagai seniman jaran lumping. Bersama kru-nya, dia menjelajahi tempat-tempat berbeda demi beroleh rupiah.
Setelah tak lagi terlibat dalam jaran lumping, ilmu kekebalan Nenti rupanya masih bersemayam di dalam tubuh. Dari sekedar keperluan pertunjukan, memakan silet kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya.
"Saya merasa mual dan pusing kalau tak makan silet," tuturnya.
Mengonsumsi silet baginya seperti orang-orang kebanyakan yang tergantung pada nasi. Nenti menyatakan, tak berniat menghilangkan ilmu kekebalannya itu, sebab dirinya akan merasa lemah tak berdaya.
Kondisi itu, dipandang Nenti, akan merugikan kehidupan dia dan suami. Nenti tak menghendaki sang suami bekerja seorang diri.
Ketergantungan Nenti pada silet di sisi lain tak membuatnya menghadapi kemudahan dibanding orang lain dengan kebiasaan tak seekstrim dirinya. Himpitan ekonomi tetap menempatkan Nenti pada posisi sulit ketika hendak memperoleh silet.
Itu sebabnya, dia mengaku lebih suka diberi silet daripada uang. Silet bagi Nenti lebih memuaskan.