Ia menambahkan, jurnalis dalam tugasnya dilindungi oleh Undang-undang 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Seharusnya kata, polisi sebagai aparat penegak hukum melindungi jurnalis yang sedang melakukan tugasnya. Bukannya malah melakukan tindak kekerasan pada jurnalis yang sedang bertugas.
Selain TAJI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyuarakan hal serupa. AJI menulis surat terbuka untuk Jenderal Listyo Sigit Prabowo di hari pelantikannya sebagai Kapolri, Rabu (27/1/2021).
Berdasarkan data Divisi Advokasi AJI Indonesia, tahun 2020 saja tercatat ada 84 kasus kekerasan. AJI mengklaim, bukan hanya lebih banyak dari tahun 2019 yang mencatat 53 kasus, tapi paling tinggi sejak AJI memonitor kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak lebih dari 10 tahun lalu.
Sebagian besar kasusnya berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17 kasus), perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (15 kasus), dan ancaman atau teror 8 kasus.
Dalam surat terbuka itu, AJI Indonesia menulis menyorot kasus kekerasan yang terjadi di Jakarta pada 2020 lalu di mana ada enam jurnalis yang juga ditahan di Polda Metro Jaya bersama para pengunjuk rasa penolak Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu, meski dua hari kemudian dibebaskan.
![Jurnalis Tempo sekaligus calon Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan. [Suara.com/Adhitya Himawan]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/11/17/95241-jurnalis-tempo-sekaligus-calon-ketua-umum-aji-indonesia-abdul-manan-suaracomadhitya-himawan.jpg)
Ironisnya, sebagian besar pelaku dari semua peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis ini adalah polisi (58 kasus), institusi yang seharusnya menegakkan hukum.
AJI Indonesia menilai, proses hukum kasus kekerasan terhadap jurnalis ini, juga tak mendapat dukungan Polri. Dalam dua kasus kekerasan terhadap jurnalis di Ternate, Maluku Utara, ada pelaporan ke polisi.
Awalnya laporan disampaikan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Maluku Utara, 21 Oktober 2020. Pengaduan ditolak karena belum ada rekomendasi dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Saat wartawan datang ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus, juga ditolak dengan alasan mereka hanya menangani yang berhubungan dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Peristiwa di Ternate ini memperpanjang keraguan terhadap kinerja polisi dalam menangani kasus kekerasan oleh anggotanya," tulis surat terbuka itu.