SuaraJabar.id - Wayang golek yang mulai tergerus zaman kini kian pudar keberadaannya. Padahal, wayang golek merupakan budaya warisan leluhur orang Jawa Barat yang diakui oleh dunia, bukan hanya Indonesia dan masyarakat Jawa Barat.
Di tatar Sunda, saat ini tak mudah menemukan keberadaan perajin wayang golek.
Bagi Kartiwa (34), seniman ukir wayang golek asal Kampung Palasari RT 02 RW 11, Desa Cirawamekar, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), kondisi ini sangatlah disayangkan. Ia tak ingin budaya yang dicintainya semakin punah.
"Banyak orang yang sudah gak suka dengan wayang baik dari sisi pagelaran atau pun dijalankan mainan," kata Kartiwa kepada Suara.com, Rabu (1/9/2021).
Baca Juga:Aplikasi Transportasi Online BAGO, Inovasi Kabupaten Badung di Masa Pandemi COVID-19
Di sebuah lemari sederhananya terlihat koleksi
pewayangan miliknya seperti, Cepot, Hanoman, Gatotkaca, dan Arjuna, belum sempurna penampilannya. Catnya masih putih, sebatas dasar penghalus pada bagian kayu.
Adapula wayang yang belum memiliki lengan dan bagian tubuh lainnya. Sebagian lagi bahkan belum mengenakan kustum sebagai ciri khasnya.
Yang paling menonjol dari wayang golek milik Kartiwa, semuanya berdebu.
Sejak 20 tahun lalu Kartiwa menjadi seniman ukir pembuat wayang golek Wayang golek buatan Kartiwa biasa dijual di sentra oleh-oleh di beberapa daerah, mulai dari Jakarta, Jogjakarta, hingga Bali.
Sebagian lagi dijual kepada sejumlah dalang. Mulai dari dalang tenar, hingga dalang yang biasa tampil antar kampung. Ia menjual wayang golek dengan harga bervariasi tergantung ukuran wayang. Dibandrol antara Rp 50-500 ribu.
Baca Juga:Aliansi Ilmuwan: Indonesia Butuh Satu Tahun untuk Keluar dari Pandemi
"Kalau lancar dan banyak pesanan saya biasa mengahasilkan untung Rp 8 juta sebulan," ucap Kartiwa.
Selain kian pudar dimakan zaman, usaha kesenian wayang golek miliknya juga kian tenggelam ketika pandemi COVID-19 mewabah tahun lalu.
Banyak pelanggan batal pesan karena toko mereka tutup. Imbasnya wayang golek ciptaan Iwa menumpuk tak bisa dipasarkan.
"Ini sebagian wayang buatan saya yang tak bisa jual karena ruko penjual eceran tutup selama Pandemik. Hampir satu tahun wayang-wayang ini belum ada lagi yang beli lagi," ungkap Kartiwa.
Meski begitu, ia tetap berkomitmen menekuni hobi tersebutKeputusan itu telah bulat diambil usai dirinya memutuskan berhenti sebagai buruh tambang batu kapur.
Menurutnya, langkah itu diambil sebagai upaya melestarikan warisan budaya Sunda.
"Saya ingin lestarikan wayang golek melalui seni ukir. Kalau bukan kuta, siapa lagi yang melestarikan warisan budaya ini," tukas Kartiwa.