Semua biaya harus ditanggung sendiri oleh Surmi, termasuk untuk ongkos trasnportasi ke rumah sakit.
“Kalau pake mobil Rp 500 ribu, kalau ngojek abisnya Rp 300 ribu, sama bensin sama makan,” ucap Surmi.
Semenjak penglihatan matanya kabur, Surmi tak lagi bisa beraktivitas di sawah. Tugasnya saat ini hanya untuk mengantar makanan untuk sang suami.
“Gak bisa kerja sampai sekarang. Kalau ke sawah si bapak ya ngirim (makanan) aja, pulang lagi,”
Baca Juga:Kemenangan Rakyat Cirebon Makin Kuat, ESDM Didesak Cabut Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A
Surmi hanya berharap penderitaan yang ia rasakan bisa dibayar dengan ditutupnya PLTU 1 Indramayu.

Tidak hanya Surmi yang merasakan efek negatif dari asap pembakaran batu bara PLTU 1 Indramayu.
Warga lain di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukrak, Kabupaten Indramayu yang di kampungnya berdiri kokoh PLTU 1 Indramayu dengan kapasitas 3x330 Megawatt (MV) juga rasakan dampak langsung.
Udara segar di desa ini tak lagi dirasakan. Tiap harinya warga desa hanya melihat kepulan asap pembakaran batu bara dari corong PLTU 1 Indramayu.
Langit desa mereka gelap tertutup kepulan asap. Udara bersih bagi warga desa jadi barang mahal saat ini. Efeknya tentu saja penyakit pernafasan seperti ISPA atau Pneumonia dirasakan warga.
Baca Juga:Rentetan Kiamat Warga Indramayu Pasca Tembok Beton PLTU Berdiri
Menurut ketua jatayu Rodi (62), masyarakat di sekitar PLTU 1 Indramayu menderita ISPA dan Pneumonia. Penyebabnya tentu saja aktivitas pembakaran batu bara yang berlangsung 24 jam nonstop.