Rentetan Kiamat Warga Indramayu Pasca Tembok Beton PLTU Berdiri

Bagi warga di empat kecamatan yang berada di dekat PLTU 1 Indramayu, kiamat lingkungan saat ini mulai mereka rasakan.

Galih Prasetyo
Senin, 31 Oktober 2022 | 08:10 WIB
Rentetan Kiamat Warga Indramayu Pasca Tembok Beton PLTU Berdiri
Aksi yang dilakukan Warga Jaringan Tanpa Asap Batu Bara (Jatayu) Indramayu, di lahan milik salah satu warga di sekitar area PLTU 1 Indramayu (Suara.com / Danan Arya).

SuaraJabar.id - Berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Indramayu, Jawa Barat membuat warga yang berada di empat kecamatan tiap hari harus menjerit. Bayang-bayang kiamat lingkungan akan mereka rasakan di beberapa tahun mendatang.

PLTU 1 Indramayu dengan kapasitas 3x330 Megawatt (MV) berdiri kokoh di atas lahan seluas 83 hektare, berlokasi tepat di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukrak, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Pasca berdirinya PLTU 1 Indramayu, kondisi desa itu tak lagi adem seperti namanya. Ironisnya, pembangunan PLTU 1 itu tak pernah sampai ke telinga warga.

Dibangunnya PLTU 1 Indramayu berdampak pada empat kecamatan yakni Sukra, Patrol, Anjatan, Bonga dan satu lagi berada di Kabupaten Subang yakni Kecamatan Pusakanagara.

Baca Juga:Kolaborasi Berikan Bantuan Kepada UMKM Eks Pekerja Konstruksi PLTU Batang

"Tahun 2007 itu lah tiba-tiba, langsung pembebasan. jadi engga ada dilakukan mediasi apalagi pemberitahuan yang detail itu tidak tahu," ucap Rodi (62) saat ditemui Suara.com pada Kamis 20 Oktober 2022.

Sejak start awal pembangunan PLTU 1 Indramayu dimulai pada 2007, pembebasan lahan milik warga gencar dilakukan.

Tak lama setelahnya, truk-truk pembawa bahan material mulai berdatangan, beton-beton mulai ditancapkan ke tanah yang dulu ditanami bahan sayur mayur oleh warga.

Menengok ke belakang kata Rodi, warga sama sekali tidak mengetahui soal bagaimana dampak dibangunnya PLTU 1 Indramayu tersebut. "Jangankan 2005, 2006 aja ga ada kabar, (warga) desa sama sekali tidak tahu," ungkapnya.

Rodi meski sudah berusia lebih dari setengah abad saat ini menjadi ketua jaringan tanpa asap batu bara Indramayu (Jatayu). Kelompok ini dibangun sejak 2015 dengan misi menolak keberadaan PLTU 1 Indramayu.

Baca Juga:Menko Airlangga Klaim Indonesia Berhenti Gunakan PLTU Batu Bara Pada 2027

Rodi dan warga menolak keberadaan PLTU 1 Indramayu karena dampak kepada lingkungan yang turun temurun mereka tinggali.

Kondisi persawahan milik warga yang berlokasi tak jauh dari PLTU 1 Indramayu (Suara.com/Danan Arya)
Kondisi persawahan milik warga yang berlokasi tak jauh dari PLTU 1 Indramayu (Suara.com/Danan Arya)

Setiap industri yang dibangun wajib membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup alias Amdal. Pembuatan Amdal dilakukan sebelum proses pengerjaan bangunan industri.

Proses pembuatan Amdal ini wajib mengikutsertakan masyarakat. Di pembangunan PLTU 1 Indramayu ini, masyarakat hingga tingkatan desa sama sekali tidak pernah mendengar informasi apalagi dilibatkan dalam proses pembuatan Amdal.

Masyarakat yang berada di empat kecamatan sekitar PLTU 1 Indramayu berdiri tak pernah mendapat penjelasan mengenai dampak terhadap lingkungan, mereka tidak pernah mendapat informasi dan sosialisasi atas asap berbahaya dari batu bara terhadap lingkungan.

Efeknya tanah pertanian milik warga rusak dan tidak gembur kembali. Tak hanya itu, biota laut mati karena panasnya air limbah.

Kelapa Berguguran, Pohon Pisang Tinggal Tunggu Nasib

Rodi dan sejumlah warga lain yang tinggal di Desa Mekarsari awalnya tidak pernah sadar bahwa kehadiran PLTU 1 Indramayu akan berdampak pada lingkungan tempat tinggal mereka.

Firasat buruk muncul kala pohon kelapa mulai berguguran, mati tak bisa tumbuh. Sejak resmi beroperasi 2011, masyarakat hanya meratapi semburan asap bakaran batu bara yang tak henti selama 24 jam perhari.

Beranjak dari dua tahun setelah PLTU 1 Indramayu beroperasi, warga makin gelisah dan merasakan firasat buruk terhadap tempat tinggal mereka.

"Berawal darimana? dari pohon kelapa. Baru tahun 2015, kalau di Mekarsari itu sudah separuh pohon kelapa banyak yang mati," ucap Rodi.

Padahal cerita Rodi, sebelum berdirinya PLTU 1 Indramyau, di Desa Mekarsari selalu dijumpai pohon kelapa.

Tiap harinya Desa Mekarsari sebelum kehadiran PLTU 1 selalu bisa memanen ratusan kepala muda hingga tua.

Daun kelapa kata Rodi juga bisa menambah penghasil warga. Daun kelapa bisa diperjualbelikan kepada nelayan untuk dijadikan rumpon.

Rumpon merupakan salah satu jenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di laut, baik laut dangkal ataupun laut dalam.

Rodi masih mengingat betul kenangan indah di masa lalu sebelum beton-beton PLTU 1 Indramayu itu berdiri pongah seperti sekarang.

Dulu kenang Rodi, pohon kelapa di tiap desa selalu menyediakan buah yang segar. Tua muda kata Rodi di zaman dulu bisa merasakan kesegaran air kelapa dan dagingnya yang lembut.

Saat para tamu dan handai tolan dari luar Indramayu berkunjung pasti kata Rodi diberikan oleh-oleh buah kelapa.

Kekinian warga Desa Mekarsari harus menelan pil pahit, dua tahun setelah berdirinya PLTU 1 Indramayu, warga harus meratapi bahwa salah satu mata pencarian mereka, pohon kelapa terancam punah. Pohon kelapa kini di Desa Mekarsari tak bisa lagi berbuah. Daunnya kering bahkan layu.

Kondisi lahan persawahan milik warga yang berlokasi tak jauh dari PLTU 1 Indramayu (Suara.com/Danan Arya)
Kondisi lahan persawahan milik warga yang berlokasi tak jauh dari PLTU 1 Indramayu (Suara.com/Danan Arya)

"Kalau bicara tentang dampak pertama yang di alami masyarakat itu adalah pada mulai beroperasi dua tahun,baru merasakan dampaknya," keluh Rodi.

Warga desa Mekarsari meyakini bahwa salah satu penyebab pohon kelapa di tempat mereka kini mati disebabkan kepulan asap batu bara yang membawa serpihan bekas pembakaran dari PLTU 1 Indramayu.

Material asap pembakaran batu bara tertiup angin dan hingga di dedaunan pohon kelapa.

"Kalau berbicara kembali ke kelapa itu sampai sekarang tahun 2022, itu sudah empat kecamatan yang sudah punah," tambah Rodi.

Hingga 2022 kata Rodi, sulit sekali mengkonsumsi buah kelapa yang tumbuh di empat kecamatan di kabupaten Indramayu yaitu Kecamatan Patrol, kecamatan Sukra, Kecamatan Anjatan,Kecamatan Bongas.

Tak hanya pohon kelapa, dampak dari semburan asap batu bara juga mengakibatkan tanaman lain mengalami dampaknya.

Pisang kata Rodi di tahun ini mulai terkena dampaknya. Pisang menurut Rodi akan segera menemui ajalnya seperti pohon kelapa.

Rodi menceritakan bahwa banyak pohon pisang yang layu, daun pisang yang entah mengapa tiba-tiba menguning bahkan yang mengejutkan adalah buahnya sangat keras tak seperti pisang pada umumnya.

"Sejak 2022 sekarang ini, dampaknya mulai merembet ke tanaman pisang. Pisang akan seperti pohon kelapa kematiannya akan bertahap," jelas Rodi.

Warga pun coba putar otak. Demi bisa buah pisang bisa dijual atau dikonsumsi, warga menaruhnya di tumpukan beras dan membiarkan beberapa hari agar matang. Namun sia-sia.

"Begitu kita perem itupun engga bisa mateng karena memang sudah keras," Pisang yang kaya serat dan vitamin tak bisa lagi dimakan. "ya keras gak bisa di makan,"

Tanah Tak Lagi Subur, Petani Menjerit

Bagi masyarakat di empat kecamatan yang berlokasi di dekat PLTU 1 Indramayu, tolak ukur pertama mata pencarian mereka ialah persawahan. Tapi sekarang itu tidak lagi.

Para pemilik lahan saat ini dibuang bingung pasca beton PLTU 1 Indramyu berdiri. Mereka bingung karena lahan yang mereka punya disewa dengan harga sangat murah oleh buruh tani.

Hal ini tentu saja diakibatkan tanah yang tak lagi subur membuat buruh tani tak berani menyewa lahan dengan harga mahal.

Sebelum adanya PLTU 1 Indramayu, pemilik tanah di Kecamatan Anjatan menyewakan lahannya dengan harga Rp 25 juta untuk dua kali musim tanam, artinya para buruh tani dapat memanfaatkan lahan yang telah disewa selama satu tahun lebih.

Dulu, dengan rasa semangat buruh tani berebut untuk bisa menyewa lahan tani. Di sana, hitungannya petani bisa menyewa satu bouw atau sekitar 7000 meter persegi.

Bagi buruh tani, menyewa lahan seluas itu tidak merugi karena satu kali panen mereka bisa memperoleh lima sampai enam ton gabah basah.

Artinya dengan kontrak menyewa lahan untuk dua tahun atau dua kali musim panen, para buruh tani bisa memperoleh 12 ton gabah basah untuk sekali sewa satu bouw.

"Kalau gambaran jaman dulu sebelum ada PLTU itu per-bouw bisa sampai 5 ton atau 6 ton, padi basah," ungkap Rodi.

Bahkan jelas Rodi bagi masyarakat di Anjatan, saat wilayah di luar Indramayu terdampak karena inflasi dan lain sebagainya, kondisi itu tidak mereka alami.

Namun gambaran di atas hanya sesaat. Setelah dibangunnya PLTU 1 Indramayu, buruh tani bisa berpikir ratusan kali untuk menyewa lahan pertanian.

Harga sewa tanah pun yang dulu melambung tinggi disertai dengan hasil panen melimpah, kini terjun bebas. Harga sewa tanah turun drastis.

Kondisi salah satu sawah milik warga yang berlokasi di dekat PLTU 1 Indramayu (Suara.com/Danan Arya)
Kondisi salah satu sawah milik warga yang berlokasi di dekat PLTU 1 Indramayu (Suara.com/Danan Arya)

"Sekarang itu di kecamatan Anjatan harga (sewa) paling tinggi 12 juta," ucap Rodi.

Surmi, salah satu warga Desa Mekarsari yang juga berprofesi sebagai buruh tani masih ingat betul dulu ia masih bisa menghasilkan enam ton gabah basah dalam satu kali musim panen.

Namun hal itu tak lagi ia rasakan pasca berdirinya PLTU 1 Indramayu. Hasil panen yang ia dapat berkurang hampir 50 persen. Surmi hanya bisa menelan ludah saat panen hanya mendapat 3 ton bahkan pernah hanya 1 ton saja.

Apakah penurunan hasil panen disebabkan karena hama tikus misalnya? Surmi menolak tegas. Menurutnya, hama tikus memang jadi masalah umum bagi petani, tapi bisa diantisipasi.

"Kalau dulu sebelum ada PLTU engga kaya gitu, penyakit biasa aja kaya hama-hama gitu," ucap Surmi.

Masalahnya bukan soal hama, kata Surmi. Masalah utamnya soal tanah yang ia garap tak lagi gembur dan subur. Hal itu terjadi sejak PLTU 1 Indramayu berdiri.

Surmi menjelaskan saat dirinya menanam padi bukannya tumbuh malah menjadi mati. "Dimulai dari akarnya kadang membusuk, lalu tanaman padi berubah warna menjadi merah,"

Mendapati situasi seperti itu, Surmi dan petani lain mau tidak mau harus mengganti bibit padi yang rusak dengan yang baru dan harus kembali membajak sawah dari awal.

Nah saat proses pembajakan kedua ini, tanah seharusnya bisa menjadi subur tapi yang terjadi justru bertambah rusak.

"Kebanyakan pada nanem lagi jadi dua kali kerja. Di urai bukan jadi bagus tapi jadi ambles tanahnya," jelas Surmi.

Saat ini Surmi hanya bisa mengeluh dan berpasrah diri melihat rentetan kerusakan-kerusakan alam semenjak kehadiran PLTU 1 Indramayu.

"Jadi sekarang nanem terong pada merah-merah, udah di pupukin, tetep pada merah di cabutin lagi, buangin lagi. Udah ngurusinya cape, malah kering daunnya pada jatuh,"

"Pupuknya mahal satu kwintalnya 1 juta lebih, tetep aja,nanem kacang juga kuning lagi. Jadi susah di kelola, kalau dulu engga gitu," keluh Surmi

Keluhan sama juga diungkap oleh Tarmudi. Asap pembuangan PLTU 1 Indramayu membuat lahan pertanian milik warga banyak yang tidak subur lagi.

"Dampak ke tanaman terutama ke padi, pertanian itu mulai tahun 2019, mulai kita mengelola tanah kesulitan dari pembibitan itu sudah berubah merah terkadang bisa mati, itu bukan bentuk hama itu dikenal penyakit," jelas Tarmudi yang juga salah satu koordinator Jatayu. 

Kontributor : Danan Arya

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini