Tidak banyak potret rekaman peristiwa sejarah peradaban di sepanjang daerah Sungai Citarum. Ada perkiraan, ibu kota Kerajaan Tarumanegara berada di hilir sungai, yaitu di sekitar Kerawang-Bekasi.
Pada 1957 ditemukan beberapa arca Dewa Wisnu dan Lingga di reruntuhan bangunan purbakala yang mulanya dianggap sebagai sisa benteng Belanda di Karawang.
Dari penemuan ini, mulai terkuak sedikit potret peradaban di sekitar hilir sungai Citarum. Penemuan artefak ini kemudian disebut sebagai Candi Buana.
15 km dari Candi Buana, juga ditemukan kompleks situs percandian yang disebut sebagai Candi Batujaya. Di komplek percandian itu ditemukan 24 lokasi candi. Namun baru 10 lokasi candi telah digali dan diteliti secara intensif.
Baca Juga:Penampakan Pulau Sampah di Sungai Citarum, Pj Gubernur Bilang Begini
Penemuan komplek candi Batujaya ini menjadi bukti lain bagaimana tingginya peradaban masyarakat di sekitar sungai Citarum masa lalu.
Sedangkan di zaman Belanda, Sungai Citarum berperan sebagai sarana penghubung transportasi. Sungai ini berfungsi menghubungkan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir di pantai utara Jawa, untuk membawa hasil pertanian dan perdagangan.
Di era pemerintah Soekarno, dibuat megaproyek bendungan yang dibangun pada 1957, diberi nama Waduk Ir H Juanda. Awalnya, Jatiluhur ialah satu–satunya bendungan di Sungai Citarum.
Lalu selanjutnya dibangunlah dua bendungan lainnya di masa Presiden Soeharto. Bendungan Saguling pada 1985 dan Bendungan Cirata di tahun 1988.
Sungai Citarum jadi Lautan Sampah
Baca Juga:Jabar Targetkan Juara Umum Peparnas 2024 di Sumatera Utara
Kini aliran sungai tidak bisa mengalir diakibatkan menumpuknya sampah di atasnya. Sejumlah petugas berusaha keras untuk membersihkan sungai Citarum dari sampah yang mayoritas merupakan sampah plastik.