Banjir Sumatera Bukan Murni Bencana Alam, Pakar IPB Sebut 'Pesan Kematian' dari Pembalakan Liar

Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan sekaligus Kepala Pusat Studi Bencana IPB University, Prof. Bambang Hero Saharjo, memberikan analisis yang menohok.

Andi Ahmad S
Kamis, 04 Desember 2025 | 23:25 WIB
Banjir Sumatera Bukan Murni Bencana Alam, Pakar IPB Sebut 'Pesan Kematian' dari Pembalakan Liar
Warga menunaikan shalat di area rumah yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/nz]
Baca 10 detik

Material kayu di lokasi bencana Sumatera diindikasikan berasal dari aktivitas manusia, bukan hanya kayu lapuk atau runtuhan alami, menurut pakar IPB.

Hutan sehat memiliki struktur tajuk dan vegetasi bawah yang rapat, berfungsi memecah air hujan, menyerapnya, dan menjaga kestabilan ekosistem serta tanah.

Aktivitas pembalakan liar merusak lapisan vegetasi, menghilangkan fungsi tajuk, dan memicu erosi cepat, yang menjadi konsekuensi temuan kayu besar pascabencana.

SuaraJabar.id - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Sumatra belakangan ini menyisakan tanda tanya besar.

Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan sekaligus Kepala Pusat Studi Bencana IPB University, Prof. Bambang Hero Saharjo, memberikan analisis yang menohok.

Berdasarkan pengamatannya terhadap material sisa bencana, khususnya kayu-kayu gelondongan yang hanyut, terdapat indikasi kuat adanya keterlibatan aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab.

Ia menegaskan bahwa tumpukan kayu yang menjadi senjata mematikan saat banjir tersebut memiliki karakteristik yang mencurigakan.

Baca Juga:Lewat Tim Elang Relawan BRI, BRI Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir Sumatra

Kondisi tersebut tidak sepenuhnya dapat dijelaskan sebagai kayu lapuk atau dampak runtuhan alami semata. Hal ini mengingatkan pada kasus serupa di kawasan lindung Sumatra Utara beberapa tahun silam.

Untuk memahami mengapa banjir bisa begitu destruktif, Prof. Bambang mengajak kita kembali ke pelajaran dasar ekologi.

Hutan yang sehat sejatinya bekerja seperti spons dan payung raksasa yang canggih. Struktur tajuk (canopy) yang rapat dan bertingkat adalah kunci pertahanan pertama terhadap hujan deras.

“Walaupun ada air, dia tidak langsung ke permukaan. Dia jatuh di tajuk, pecah, kemudian sebagian mengalir melalui batang atau stem flow,” jelasnya, dalam pesan yang diterima SuaraJabar, Kamis 4 Desember 2025.

Keberadaan tumbuhan bawah dan serasah di lantai hutan berfungsi menyerap air, sehingga tanah tetap stabil.

Baca Juga:Dapat Dukungan Pemerintah Canada, IPB University Jawab Krisis Iklim

“Tuhan menciptakan ini tentu saja untuk kebaikan manusia dan lingkungannya,” ujarnya.

Foto udara kerusakan rumah warga pasca diterjang banjir bandang di Desa Kota Lintang, Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nz]
Foto udara kerusakan rumah warga pasca diterjang banjir bandang di Desa Kota Lintang, Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nz]

Dalam kondisi hutan perawan yang belum terjamah, pohon tumbang adalah hal lumrah namun skalanya sangat kecil dan tidak merusak.

“Pohon ini, ya, kalaupun tumbang, itu tidak banyak. Paling hanya satu, dua. Dan itu alami,” tutur dia.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda. Material kayu dalam jumlah masif yang menghantam pemukiman menjadi bukti bahwa sistem pertahanan hutan telah jebol.

Prof. Bambang menyoroti aktivitas pembalakan liar sebagai biang kerok utama. Ketika penebangan ilegal masuk ke jantung hutan, kerapatan tajuk hilang. Celah-celah terbuka lebar, membiarkan air hujan menghujam tanah tanpa penghalang.

“Pada kondisi seperti ini, ketika pembalakan liar masuk, maka celah antara tajuk semakin terbuka,” ungkapnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini