Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Senin, 24 Agustus 2020 | 19:29 WIB
Cerita transpuran di Bandung. (Suara.com/Emi)

Serba bisa, mantan pengamen jalanan itu juga ahli merias pengantin. Sesekali, ia membantu teman merias pengantin jika sedang ada panggilan, upah yang didapat sekali merias pengantin Rp 150 ribu. Arin juga bisa memijat dengan tarif Rp 100 ribu, namun kondisi semakin sulit kala pandemi.

Jangankan untuk membayar kontrakan, untuk sekadar makan dan membeli kopi saja Arin masih kebingungan.

“Sudah 7 bulan tidak ada kerja, apalagi ditambah corona, makin tidak ada kerjaan,” ujarnya.

Bantuan dari pemerintah sama sekali tidak didapat, ia hanya mengandalkan bantuan dari komunitas transpaun dan komunitas lain yang membantu.

Baca Juga: Heboh Warga Antre di Pengadilan Agama Soreang Mau Ajukan Cerai

“Bantuan dari pemerintah tidak ada, tidak berharap juga dapat, jadi paling bantuan dari teman saja,” ungkapnya.

Beberapa puluh meter dari tempat Arin, transpuan lainnya Dara bernasib sama. Di usianya yang sudah 50 tahun, Dara tinggal berdua bersama ibunya yang sudah lanjut usia. Di kontrakan yang sempit, ia membuka usaha salon.

Pandemi corona juga memukul usaha jasa riasnya. Tak ada pelanggan, lembaran uang pun tak terlihat

Akhirnya Dara kembali mengamen untuk bertahan hidup.

“Mau tidak mau harus turun ke jalan, setidaknya bisa untuk beli makan,” ujarnya.

Baca Juga: Viral Antrean Panjang Orang Daftar Cerai di Pengadilan Agama Bandung

Dara bercerita sudah sejak pekan ketiga Maret 2020, setidaknya tiga konsumen yang harusnya menggunakan jasa rias pengantinnya, tetapi dibatalkan.

Load More