Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Senin, 24 Agustus 2020 | 19:29 WIB
Cerita transpuran di Bandung. (Suara.com/Emi)

Terkait lamanya waktu proses bantuan, Dodo mengungkapkan hal itu tergantung pada kelengkapan data. Jika datanya telah sesuai, maka pihaknya akan memproses pengajuan bantuan tersebut. Hal itu sebagai persyaratan administrasi.


Kebebasan Semakin Sulit Diekspresikan

Pascakasus prank sembako berisi sampah, bagi Luvhi, perlakukan diskriminatif di masyarakat atau pemerintahan Jawa Barat terhadap transpuan tidak ada perubahan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak bersimpati apalagi bersolidaritas atas kondisi transpuan yang kian rentan selama pandemi. Diskriminasi masih ada hingga komentar yang menyebutkan bahwa mereka memang ingin diberikan sampah.

“Banyak yang menyudutkan kami ketika pencabutan kasus,” tambahnya.

Baca Juga: Heboh Warga Antre di Pengadilan Agama Soreang Mau Ajukan Cerai

Ia bercerita, bagaimana kondisi transpuan awal tahun 2005-an hingga 2010-an masih cukup mudah mengekspresikan diri, meski stigma negatif dan sentimen di masyarakat tidak bisa dihindarkan. Belakangan, sentimen makin kuat terasa dari berbagai kelompok di masyarakat, terutama dari kelompok agama.

Youtuber Ferdian Paleka [Youtube]

Bahkan, kecaman dan kekerasan sering dirasakan dari kelompok organisasi masyarakat (ormas) Islam. Luvhi menjelaskan salah satu petugas lapangan Srikandi Pasundan pernah dilempar, dipukul dan ditelanjangi oleh salah satu ormas Islam ketika melalukan survei ke lapangan untuk salah satu program dari organisasinya.

Saat ini, kegiatan-kegiatan yang bentuknya mengekspresikan diri untuk meningkatkan kualitas dan kreativitas para transpuan semakin sulit untuk diekspos ke publik. Olehnya kegiatan yang berkaitan dengan hal tersebut dilakukan secara diam-diam untuk menghindari sentimen dan penolakan dari masyarakat, yang justru merugikan para transpuan.

“Dulu tidak terlalu ekstrim seperti sekarang. Masih bisa melakukan aktivitas, misalkan ada perlombaan bola voli, terus ada pemilihan duta HIV. Kalau sekarang tidak bisa sama sekali, justru makin sulit (untuk berekspresi),” katanya.

Diskriminasi pada sektor formal juga dirasakan oleh Luvhi dan komunitasnya. Ia bahkan kesulitan mengakses pekerjaan formal yang menjadi cita-citanya dahulu, yaitu bekerja di sektor perbankan. Karena penampilannya ia ditolak dan sempat mendapat perundungan.

Baca Juga: Viral Antrean Panjang Orang Daftar Cerai di Pengadilan Agama Bandung

Menurut Luvhi Indonesia belum bisa menerima teman-teman transpuan yang menampilkan ekspresi gender sebebas-bebasnya. Karena hal itu akan memicu pemberitaan-pemberitaan negatif, berbeda saat mereka melakukan hal yang positif.

“Itu muncul beritanya paling kencang. Tapi di saat kita melakukan yang positif ya dianggap biasa,” protesnya.

Di awal Srikandi Pasundan, Luvhi mengisahkan, hal paling mendesak yakni kebutuhan para transpuan di Kota Bandung yang tidak terpenuhi, karena kuatnya stigma negatif serta diskriminasi. Bentuk paling sederhana dari diskriminasi, sambung Luvhi, ketika transpuan mengakses layanan kesehatan, misalnya, seringkali transpuan dipanggil dengan sebutan laki-laki.

Ini yang membuat kalangan transpuan sangat enggan mengurus administrasi dan mengakses hak-haknya karena perlakuan yang melecehkan dari para petugas. Pihaknya ingin masyarakat dan pemerintah menghargai keberadaan mereka. Seperti memanggil mereka dengan penyebutan yang benar. Mungkin bagi kebanyakan orang sepele, tapi menurut Luvhi ini adalah yang sangat berarti.

“Masa sudah dandan cantik-cantik masih dipanggilnya Asep atau Ujang. Nah, ini salah satu yang harus kita advokasi,” ungkapnya.

Diskriminasi juga masih terus dirasakan Joya. Meski di lingkungan baru cukup menerimanya, namun sentimen dari masyarakat lain masih dirasakannya. Ketika belanja di pasar, misalnya, perlakuan sinis masih diterima. Joya kecewa kepada masyarakat yang masih tidak menghargai dirinya.

Load More