Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Jum'at, 28 Januari 2022 | 07:00 WIB
ILUSTRASI - Seorang warga menunjukan retakan rumah akibatnya ledakan pembuatan Tunnel 11 Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang kini sudah Ditinggalin pemiliknya. [Suara.com/Ferry Bangkit]

SuaraJabar.id - Kriminalisasi terhadap warga maupun aktivis lingkungan dikabarkan masif terjadi sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur di negeri ini, baik yang digarap pemerintah pusat maupun daerah.

Kondisi ini dianggap sebuah sinyal lugas bahwa rakyat semakin tak leluasa memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya.

Dalam setengah dekade terakhir, sedikitnya ada 290 kasus kriminalisasi yang berhasil dicatat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Hal itu sebagaimana diungkap Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat (Jabar), Wahyudin, saat konferensi pers 'Ketakutan dan Krisis Tahun Baru', di Sekretariat Walhi, Kota Bandung, Kamis (27/1/2022).

Baca Juga: Anggota GMBI yang Diamankan Polisi Mencapai 725 Orang, Beberapa Positif Narkoba

"Dalam kurun waktu lima tahun, sudah sekitar 290 warga maupun aktivis lingkungan yang dikriminalisasi dari dampak pembangunan infrastruktur yang direncanakan oleh pemerintah pusat atau daerah," katanya.

Aktivis lingkungan mengenakan kostum karakter Anime Jepang saat melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Senin (4/10/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Di Jabar sendiri, tak kurang dari 37 kasus kriminalisasi telah terjadi sepanjang waktu yang sama. Pembangunan infrastruktur, menurut Wahyudin, kerap berbuntut perebutan ruang-ruang hidup masyarakat yang memicu konflik sosial.

"Kebanyakan terkait dengan pembangunan, misal PLTU, semen, industri, tol, waduk, tambang, dan lain-lain," katanya.

Wahyudin juga menyebut, akses masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan kian lenyap.

"Sehingga kami anggap itu tidak merepresentasikan kepentingan rakyat, tapi golongan tertentu yang memiliki kepentingan yang semakin difasilitasi oleh negara," katanya.

Baca Juga: Polisi Amankan Ratusan Anggota GMBI


Rakyat Diancam, Demokrasi Disempitkan

Senada, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Lasma Natalia juga menilai partisipasi publik itu kian disisihkan. Padahal, katanya, harus dipahami bahwa dalam kehidupan demokrasi partisipasi masyarakat itu adalah unsur penting.

"Ketika masyarakat sudah tidak dilibatkan, berarti jangan-jangan kehidupan demokrasi sudah tidak ada. Ruang-ruang partisipasi ini semakin dipersempit, bahkan cenderung dihilangkan," katanya.

Kondisi tersebut lalu diperparah oleh intimidasi kekerasan langsung maupun lewat ancaman hukum. Menurutnya, ada beberapa pasal yang sering digunakan dalam kasus-kasus kriminalisasi tersebut.

"Digunakan untuk mengancam masyarakat, menghambat, mengkriminalisasi warga," katanya.

"Salah satunya, pasal 162 di UU Minerba, yang kemudian malah diperkuat di UU Cipta Kerja (UUCK) di pasal 39, kemudian yang sering digunakan hingga hari ini dan kita tahu sudah bermasalah dari tahun-tahun lalu yaitu pasal pencemaran nama baik di UU ITE," katanya lagi.

Ia menegaskan, dengan diintimidasi dan ditodong pasal-pasal demikian itu, masyarakat hendak dibuat takut. Bukan hanya dibuat takut, bahkan tak diberi ruang sama sekali untuk melawan.

Menurut Lasma, UUCK juga mempersempit ruang pergerakan rakyat dalam upaya memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya. Dalam undang-undang itu, ada perubahan terkait siapa yang boleh berpartisipasi dalam memperjuangkan hak atas lingkungan.

"Sekarang dibatasi hanya masyarakat terdampak saja. Padahal dulu, dalam UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), organisasi yang berkepentingan, orang yang berkepentingan, itu bisa melakukan advokasi terhadap hak atas lingkungannya, sedangkan di UUCK itu dibatasi," katanya.

"Demokrasi dipersempit sehingga masyarakat atau warga atau siapapun yang ingin memperjuangkan hak atas lingkungan dia tidak memiliki ruang," tandas Lasma.

Kontributor : M Dikdik RA

Load More