Scroll untuk membaca artikel
Galih Prasetyo
Rabu, 13 Juli 2022 | 13:37 WIB
Wawan, Salah Seorang Warga Menunjukan Bagian Hutan yang Dulunya Ditengarai Bagian dari Perkebunan Koka di Bandung Barat (Suara.com/Ferry Bangkit)

SuaraJabar.id - Siapa sangka Bandung Barat ternyata pernah menjadi pemasok tanaman koka pada era pemerintahan Hindia-Belanda. Koka adalah tanaman penghasil kokain. Saat itu, Bandung Barat belum menjadi sebuah daerah yang mandiri.

Bahkan, di pelosok Bandung Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Cianjur tepatnya di Kampung Citembong, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy itu dibangun sebuah pabriknya.

Belum diketahui pasti sejak kapan perkebunan koka hingga pabrik penghasilnya itu ada di Bandung Barat tempo dulu. Namun disebut dari perkebunan itu bisa memasok hingga ke luar negeri.

Bekas lahan yang dulunya menjadi salah satu area tanaman koka dan pabriknya ditunjukan Wawan (64), salah seorang warga Kampung Citembong, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat.

Baca Juga: Total Kokain Ditemukan di Perairan Anambas Ternyata 43 Kilogram

"Katanya sebelum merdeka itu memang sudah ada koka di sini," tutur Wawan kepada Suara.com, belum lama ini.

Ia menunjukan titik lokasi perkebunan dan pabrik koka yang letaknya tak terlalu jauh dari pemukilan warga setempat. Lahannya kini kebanyakan sudah dimiliki warga setempat dan dijadikan kebun untuk menanam berbagai jenis sayuran.

Warga menyebutnya area pabrik koka itu dengan nama 'Gedong Belanda'. Meski sudah tidak didapati tanaman koka, namun Wawan menunjukan sedikit sisa-sisa reruntuhan bekas pondasi pabriknya yang sudah ditutupi rumput liar.

Cerita kebun koka zaman Belanda itu didapat Wawan dari kakeknya sendiri yang tempo dulu pernah menjadi salah satu mandornya. Kakenya sengaja datang dari Garut untuk bekerja di perkebunan koka tererbut.

"Aki (kakek) dulu jadi mandor. Aktivitanya memang di kebun koka," ujar Wawan.

Baca Juga: Lika Liku Kehidupan Rodney Stotts: Dari Pengedar Kokain Hingga Jadi Pelatih Elang

Berdasarkam cerita dari kakeknya yang bertugas sebagai mandor ketika itu, hasil produksi koka dari perkebunan dan pabrik di wilayah Citembong itu dikirim ke luar negeri. Khususnya Belanda yang ketika itu berkuasa.

Aktivitas pengiriman koka dari wilayah Citembong itu pernah diberitakan dalam koran berbahasa Belanda zaman dulu. Catatan berita itu diperoleh dari laman www.delpher.nl.

Dalam laman itu tertulis pemberitaan dari De Locomotief pada 19 Februari 1938 yang berjudul 'Een Kwart Millioen K.G, Cocaine'. Berita tersebut menuliskan pesanan besar produksi kokain dari Citembong dari Amerika.

Pesanannya disebutkan mencapai sekitar 250.000 kilogram dari Amerika. Dalam koran itu juga disebutkan bahwa aktivitas produksi di pabrik penghasilnya membutuhkan tenaga kerja tambahan.

"Perusahaan sekarang bekerja dengan kapasitas penuh, sementara jumlah pekerja harus ditambah empat puluh," tulis koran itu.

Wawan menuturkan, ketika itu hasil produksi kokain dari Citembong ketika itu dimasukan ke dalam sebuah kotak besar, yang kemudian disegel. Koka itu kemudian dibawa menyebrangi sebuah jembatan yang sengaja dibuat menuju wilayah Cianjur, sebelum nantinya dikirim ke luar negeri.

"Jadi memang ada yang kuli gotongnya dari sini. Ada yang dibawa ke Belanda," ucap Wawan.

Namun dari cerita yang didapatnya, aktivitas perkebunan koka hingga pabriknya mulai terhenti setelah Belanda tidak lagi berkuasa. Apalagi tahun 1945 Indonesia menyatakan kemerdekannya, yang diikuti dengan penyerahan kedaulatan hingga aset-asetnya.

Setelah itu menurut Wawan muncul gerakan yang dinamakan 'zaman gedor' dimana bangunan peninggalan Belanda mulai dihancurkan warga. Termasuk pabrik produksi kokain di Citembong, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat.

Kini, sudah tidak ada lagi tanaman kola di sana dan bekas bekas pabriknya sudah menjadi kebun warga. Meski begitu, Wawan menunjukan sedikit puing-puing pondasi tersisa dari aktivitas produksi kokain di Citembong. Sementara batu-batu bekas pondasi sisanya udah diambil.

Lokasi bekas pabrik tersebut juga ber­ada di tepi Sungai Cita­rum yang menjadi pembatas dengan Kabupaten Cianjur. Lahan bekas tanaman dan pabri koka sebagian besar sudah dimiliki warga untuk ditanammi berbagai jenis sayuran.

"Saya ada yang ditanami pisang, bonteng (timun). Sekarang udah milik warga, termasuk saya. Ada sertifikatnya," ujar Wawan.

Keterangan tambahan didapat dari salah seorang pegiat sejarah, David Riksa Buana. Berdasarkan keterangan pemberitaan berbahasa Belanda De Locomotief pada 1938 diadakan pengerjaan Jembatan Gantung Bayabang di atas Sungai Citarum.

Bataviaasch Nieuwsblad juga menurunkan berita pada 12 September 1938 terkait Peresmian jembatan Ba­ya­bang yang dihadiri sejumlah pejabat di tingkat Provinsi Jawa Barat, Bupati Bandung, Bupati Su­me­dang, Bupati Purwakarta dan Bupati Cianjur.

"Jembatan baru ini memiliki panjang total 86 meter, dirancang oleh pensiunan chief engineer V dan W Jürgensen West dan dieksekusi oleh Biro Teknis Soenda di Bandoeng," terang David.

Jembatan itu ditengarai sebagai akses untuk mengangkut hasil kokain produksi Citembong. Meskipun dalam Bataviaasch Nieuwsblad pada 4 Juni 1936 menuliskan nilai penting pembangunan jembatan terkait aktivitas pembelian teh pucuk dari penduduk untuk pabrik-pab­rik di Cianjur.

"Iya betul, kan dulu belum ada Jalan Citarum. Ada jalan yang tembus ke Cianjur," ucap David.

Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki

Load More