Andi Ahmad S
Selasa, 02 September 2025 | 19:44 WIB
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor, Ajat Rochmat Jatnika [Suarabogor/HO/Diskominfo]

Ini bagian paling menegangkan. Di era di mana hak cipta sangat dijunjung tinggi, Pemkab Bogor mengambil langkah berani.

Mereka mengakui belum meminta izin resmi untuk memutar lagu ini secara masif. Namun, mereka tidak gentar.

Sekda Ajat Jatnika dengan tegas menyatakan siap menanggung segala risiko, termasuk jika ada pihak yang memprotes dan menuntut pembayaran royalti.

"Tidak keberatan sih kalau diprotes gara-gara royalti," katanya.
Sikap "pasang badan" ini menunjukkan keseriusan mereka bahwa pesan moral dari lagu ini jauh lebih penting daripada potensi denda finansial.

4. Tujuannya Psikologis: Ingin "Melembutkan Hati" Warga

Tujuan akhir dari "teror" melodi ini sebenarnya sangat mulia. Pemkab Bogor berharap dengan terus-menerus mendengar lirik yang menyentuh, hati masyarakat bisa menjadi lebih lembut.

Harapannya, warga yang tadinya mungkin berniat ikut dalam aksi-aksi yang memanaskan suasana bisa berpikir ulang dan tergugah empatinya.

"Nah mudah-mudahan dengan pendekatan itu kita tergugah terus sadar bahwa okey kita ada permasalahan kemudian kita bersama melakukan perbaikan diri," jelas Ajat. Ini adalah sebuah eksperimen sosial berskala kota untuk meredam tensi dengan musik.

5. Menggunakan Aset Publik untuk Menyampaikan Pesan Emosional

Baca Juga: Gebrakan Nekat Pemkab Bogor: Siap Pasang Badan dan Bayar Royalti Demi Gema Ibu Pertiwi

Kebijakan ini menjadi contoh langka bagaimana aset dan infrastruktur publik (seperti pengeras suara di lampu merah dan stasiun) digunakan bukan hanya untuk informasi fungsional, tetapi untuk menyebarkan pesan emosional dan bahkan politik.

Biasanya kita mendengar imbauan lalu lintas atau iklan layanan masyarakat, tapi kali ini pemerintah menggunakannya untuk "terapi" empati massal.

Hal ini membuka diskusi baru tentang fungsi ruang publik dan bagaimana pemerintah bisa berkomunikasi dengan warganya di luar jalur-jalur formal.

Load More