Andi Ahmad S
Senin, 24 November 2025 | 11:46 WIB
Gerbang Gedung Sate Bandung yang dirubah jadi bentuk candi. (ANTARA/Ricky Prayoga)
Baca 10 detik
  • DPRD Jabar menyoroti ketimpangan APBD 2026. Anggaran Rp3,9 M untuk gapura Gedung Sate dikritik, karena dana pelestarian 50 situs Sunda hanya Rp156 juta. 

  • Anggota dewan Maulana Yusuf mengkritik pembangunan gapura Candi Bentar sebagai simbol ahistoris dan lebih mendesak menyelamatkan situs sejarah Sunda asli. 

  • Prioritas anggaran dinilai cacat karena miliaran untuk estetika kantor, sementara ruas jalan vital provinsi yang rusak parah menuju Lembang tidak terurus.

SuaraJabar.id - Isu pengelolaan anggaran daerah kembali memantik diskusi panas di kalangan publik Jawa Barat. Kali ini, sorotan tajam datang dari gedung parlemen terkait ketimpangan prioritas yang dinilai sangat mencolok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Anggota DPRD Jawa Barat, Maulana Yusuf Erwinsyah, membongkar sebuah ironi kebijakan yang dinilai tidak pro terhadap pelestarian sejarah lokal.

Legislator muda ini mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggelontorkan dana fantastis sebesar Rp3,9 miliar untuk proyek perbaikan lapangan parkir dan pembangunan gapura gerbang bergaya Candi Bentar di kawasan Gedung Sate.

Angka ini menjadi polemik ketika disandingkan dengan alokasi dana pelestarian sejarah yang sangat minim. Tercatat, untuk tahun 2026, pemerintah hanya menganggarkan Rp156 juta guna melestarikan 50 situs budaya Sunda asli.

Kritik Maulana Yusuf tidak hanya berkutat pada nominal angka, melainkan pada substansi budaya yang dibawa. Desain Candi Bentar yang dipilih sebagai wajah baru ikon pemerintahan Jabar dinilai ahistoris dan tidak merepresentasikan jati diri Kasundaan.

Bagi generasi muda yang peduli pada autentisitas budaya, langkah ini dianggap sebagai bentuk dangkalnya riset dalam perencanaan pembangunan.

"Saya pikir mengurus situs cagar budaya peninggalan orang Sunda zaman dahulu lebih wajib, ketimbang membuat bangunan-bangunan baru, sekalipun niatnya memperlihatkan simbol-simbol Sunda," kata Maulana Yusuf dilansir dari Antara, Senin 24 November 2025.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemaksaan simbol budaya luar dalam arsitektur pemerintahan justru mengaburkan identitas daerah itu sendiri. Padahal, situs-situs sejarah asli yang terancam punah seharusnya menjadi prioritas utama untuk diselamatkan agar tidak hilang ditelan zaman.

Urgensi pembangunan fisik gapura ini semakin dipertanyakan di tengah kondisi infrastruktur publik yang memburuk. Maulana Yusuf menyoroti realitas di lapangan yang jauh lebih membutuhkan perhatian eksekutif. Ia mencontohkan ruas jalan provinsi Cisarua-Padalarang menuju kawasan wisata Lembang yang kini dalam kondisi rusak dan minim penerangan.

Baca Juga: Gedung Sate Ganti Wajah ala Candi Rp3,9 Miliar

Kondisi jalan yang membahayakan keselamatan warga dan wisatawan tersebut justru luput dari prioritas, sementara anggaran miliaran rupiah dialirkan untuk estetika gerbang kantor pemerintahan. Hal ini dinilai sebagai kebijakan yang cacat prioritas, mengingat pemangkasan belanja pegawai juga sedang terjadi.

Lolosnya anggaran fantastis ini dalam APBD Perubahan 2025 ternyata menyisakan cerita di balik layar. Menurut Maulana, persetujuan anggaran tersebut terjadi bukan karena kesepakatan bulat yang demokratis, melainkan akibat dominasi kehendak eksekutif yang memanfaatkan sempitnya waktu pembahasan.

"Sebenarnya bukan disepakati, lebih kepada membiarkan keinginan Pak Gubernur yang keukeuh (bersikukuh) dengan keinginan sendiri," tuturnya.

Situasi ini menjadi peringatan bagi publik untuk lebih aktif mengawasi aliran dana daerah. Lebih jauh, Maulana Yusuf juga menolak keras rencana lanjutan pada tahun 2026 yang diproyeksikan menelan biaya lebih dari Rp10 miliar hanya untuk pembangunan gerbang batas provinsi dan kabupaten/kota bergaya Sunda.

Proyek mercusuar semacam ini dianggap kontradiktif dengan semangat efisiensi dan penyelamatan situs sejarah yang nyata.

Load More