Kisah Ibnu Pratomo, Si Tangan Hitam Kenalkan Budaya Indonesia dari Menempa

Membuat Kujang untuk anak Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan.

Pebriansyah Ariefana
Sabtu, 14 September 2019 | 16:31 WIB
Kisah Ibnu Pratomo, Si Tangan Hitam Kenalkan Budaya Indonesia dari Menempa
Master Pandai besi Indonesia sekaligus penggagas Pijar Komunitas Menempa Indonesia, Ibnu Pratomo menunjukkan hasil karyanya berupa Kujang dan pisau, di kediamannya, Jalan Kudus, Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/9/2019). [Suara.com/Aminuddin]

Kala itu, Ibnu ditanya, apakah ada komunitas semacam pembuat kujang di Bandung, walhasil pertanyaan itupun menjelma ide untuk membuat sebuah komunitas menempa. Akhirnya, Pijar lahir tahun berikutnya. Awalnya, Ibnu memberi nama Pijar Komunitas Menempa Bandung, tapi kini Bandung dirubah menjadi Indonesia.

"Pijar itu atau proses pemijaran itu adalah proses dari penempaan. Pada saat menyatukan berbagai macam logam untuk membuat pamor," kata dia.

Menurutnya, anggapan orang ketika mendengar nama Pijar, asosiasinya pasti langsung kepada komunitas yang berisi sekumpulan penempa yang ada di Bandung. Padahal, kata dia, tujuan Pijar yakni bisa menempa Bandung. "Kalau sekarang Indonesia," katanya.

Komunitas itu tidak hanya melulu membicarakan tentang proses penempaan logam, lebih dari itu diskusi tentang kebudayaan Tanah Air pun acapkali menjadi topik pembicaraan komunitas itu. Dengan kata lain, Ibnu bercita-cita memperkenalkan kekayaan budaya Nusantara melalui aktivitas penempaan.

Baca Juga:Gudang Amunisi yang Meledak Ternyata Berbatasan Langsung Dengan Permukiman

"Sekarang anggotanya ada sekitar 25 orang, kita bisa bmngumpul di workshop Pijar yang di Lembang (Bandung Barat)," katanya.

Dia berusaha merubah citra negatif masyarakat terhadap profesi menempa. Makanya, melalui Pijar, Ibnu memiliki misi agar kedepan pandangan masyarakat terkait pandai besi bisa berubah.

"Makanya kan kita ngerebranding kalau Pijar ini isinya anak muda yang macho-macho, sengaja biar orang tahu kalau menempa itu keren,"

Soalnya Ibnu mengaku kian resah dengan nasib para penempa atau Pande. Menurutnya, geliat penempa memang dianggap sebelah mata dan alakadarnya.

"Geliat penempa sekarang kasian karena begini, kita akan berbicara tentang penempa tradisional dan pemahaman orang tentang penempa tradisional ini alakadarnya," ujarnya.

Baca Juga:Sampai ke Dealer, Toyota Calya Facelift Dibanderol Mulai Rp 144 Juta

Hal itu, kata dia, tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di luar negeri pun sama menganggap profesi menempa menjadi profesi yang sia-sia.

"Jadi kan anggapannya aduh jangan ngomongin jadi begini-begini (penempa) berat buat (biaya) anak dan keluarga, sama saja kayak petani kan yang kini memilih untuk menjadi buruh karena sudah tidak memiliki lahan," bebernya.

"Bahkan tidak hanya di Indonesia di luar negeri pun begitu blacksmith is a dying profession. Makanya kalau kita sendiri pengen nge-rebranding masalah penempaan ini,"

Padahal, ucap dia, penempa itu memiliki posisi yang istimewa berdasarkan sejarah masa lalu. Sebut saja, kata dia, kasta seorang empu pada zaman dulu memang tidak masuk kasta manapun dan kastanya mandiri.

"Penempa itu tidak masuk kelas apapun. Kaum Pande itu sendiri, disebutnya trah Pande kalau di Bali," tukasnya.

"Pande itu posisinya sebagai Avatar ya dia menggunakan keempat unsur (kasta) itu tadi. Dia punya posisi sebagai kesatria, brahmana, masyarakat kecil juga, dia nge-blend di suatu tempat disebutnya Empu. Kalau sekarang Empu itu profesornya lah," Ibnu menambahkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini