Guru Honorer Rela Tempuh 120 Km per Hari untuk Mengajar, Berapa Gajinya?

Semoga Hari Guru Nasional kali ini, membawa berkah buat saya, harap guru honorer ini.

Ari Syahril Ramadhan
Rabu, 25 November 2020 | 13:47 WIB
Guru Honorer Rela Tempuh 120 Km per Hari untuk Mengajar, Berapa Gajinya?
ILUSTRASI. Upacara memperingati Hari Guru di Kementerian Pendidikan di Jakarta, Selasa (25/11).

SuaraJabar.id - Entah apa yang ada di benak Cokro Wijoyo. Pria asal Karangkerta Tukdana ini rela menempuh perjalanan sepanjang 120 kilometer per hari untuk mengajar anak didiknya.

Berapa gaji yang ia dapat? Jangan ditanya. Setiap bulan pria yang akrab disapa Joyo ini hanya memperoleh imbalan Rp500 ribu.

Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Uang sejumlah itu mungkin hanya cukup untuk biaya bensin sepeda motor yang ia gunakan untuk pergi mengajar di SDN Sekarmulya yang berjarak 60 kilometer dari tempat tinggalnya.

Hobi? Ya, karena apa yang dilakukan setiap hari nyaris tidak masuk akal. Dibutuhkan waktu tempuh dengan kendaraan roda duanya tak kurang dari 1,5 jam.

Baca Juga:7 Catatan dari Guru untuk Menteri Nadiem di Hari Guru Nasional

Saat pulang ia menempuh jarak yang sama. Dalam sehari ia menghabiskan waktu tiga jam untuk berkendara, menapaki jarak 120 kilometer.

Joyo adalah guru yang terlewat dari kebijakan pengangkatan guru honorer, karena “kecelakaan”. Ia gagal mendapatkan sertifikasi guru. Padahal pengalamannya mengajar lebih dari cukup.

Lulus dari Universitas Terbuka pada 1997, ia mulai mengajar di SDN Tukdana VI. Dua tahun berselang pindah ke SDN Gabusewetan III sampai 2005.

“Saya sempat banting setir mencoba usaha lain,” ujar guru kelahiran 5 Oktober 1976 itu dilansir jabar.nu.or.id-jaringan suara.com.

“Wajah anak-anak sekolah yang selalu ceria itu selalu terpampang di depan mata,” lanjutnya berterus terang.

Baca Juga:Hari Guru Nasional, Guru Honorer di Tegal Masih Digaji Rp300 Ribu Per Bulan

Maka pada 2008 ia kembali mengajar di SDN Sekarmulya Gabuswetan hingga sekarang.

Gaji honornya dari mengajar, hanya Rp500 ribu setiap bulan. Tak ada tunjangan profesi, prestasi maupun tunjangan daerah. Namun, mengajar baginya bukan cara untuk mendapatkan uang, melainkan sebuah panggilan jiwa.

Semangat perjuangannya itu diakui Joyo didapatkan dari almarhum ayahnya, Raswin, seorang pensiunan guru. Juga dari pengajian rutinan yang diikutinya. Sebagai warga Nahdliyyin, ia mengasah rohaninya bersama Jamiyyah Yassinan di kampungnya.

Mengajar baginya adalah menemukan keberkahan hidup. Terbukti dari tiga anaknya Elanika, Dede Riski, dan Dapa Surya Rahman, semua bisa bersekolah. Anaknya yang sulung kini sudah duduk di kelas X SMA.

Wajah-wajah polos anak-anak sekolah dasar itu selalu memompa semangatnya agar segera sampai di sekolah. Pukul 05.30 WIB ia sudah melaju di atas motor bebeknya. Sekali pun kediamannya paling jauh, Joyo seringkali yang datang pertama di sekolah. Mendidik adalah panggilan hidup yang sudah mendarah daging. Jarak bukan lagi halangan baginya.

Anak-anak memanggilnya Pak Joyo. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia dibantu Karsem, istrinya, yang berdagang di rumah dan membuka kantin di sebuah sekolah menengah di Tukdana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini