SuaraJabar.id - Laju kasus baru Covid-19 di Kota Bandung terbilang tinggi. Sepanjang awal Oktober hingga awal November 2020, terdapat penambahan kasus positif sebanyak 672 kasus. Jumlah kematian tercatat sebanyak 31 kasus.
Kenaikan kasus Covid-19 ini merupakan yang tertinggi sejak awal pandemi. Untuk menekan kasus baru Covid-19, apakah Pemerintah Kota Bandung perlu mengambil kebijakan kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB)?
Kota Bandung hari ini, Rabu (25/11/2020) masih berada di zona oranye. Namun jumlah kasus positif Covid-19 Kota Bandung terus bertambah. Tingkat keterisian atau okupansi rumah sakit-rumah sakit rujukan Covid-19 di Kota Bandung pun terus meningkat.
Di daerah lain seperti DKI Jakarta, di saat kasus positif mengalami peningkatan yang signifikan, maka kebijakan 'menarik rem darurat' atau penerapan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilakukan. Bagaimana dengan di Kota Bandung?
Baca Juga:Ada 40 Kasus Covid-19 per Hari, Bima Arya Minta Dinkes Siapkan RS Darurat
Menanggapi hal ini, Epidemiolog Universitas Padjadjaran Panji Fortuna mengatakan, kebijakan PSBB dapat menjadi opsi untuk menekan laju kenaikan kasus Covid-19 di Kota Bandung. Namun, hal tersebut harus didahului analisis situasi.
"Hal yang menjadi dasar adalah lakukan dulu analisis dengan cepat dan akurat, apa sebenarnya yang terjadi. Pertambahan kasus itu dari mana sumbernya, seberapa cepat penularannya. Kalau bisa ditemukan, baru bisa disusun rekomendasinya," ungkap Panji ketika dihubungi Ayobandung.com-jaringan Suara.com belum lama ini.
Ia mengatakan, nantinya hasil temuan tersebut dapat menjadi acuan perlu atau tidaknya PSBB kembali diterapkan di Kota Bandung. Bila penambahan kasus Covid-19 diketahui berasal dari klaster tertentu, maka klaster yang bersangkutan harus dilakukan isolasi dan karantina.
"Tapi kalau penyebarannya sudah meluas di komunitas, maka memerlukan pembatasan yang lebih ketat seperti PSBB. Tergantung analisa, sebenarnya apa yang terjadi dan kasusnya berasal dari mana," ungkapnya.
Ia mengatakan, penambahan kasus Covid-19 di Kota Bandung saat ini diduga paling banyak berasal dari klaster rumah tangga dan perkantoran. Pasalnya saat ini banyak warga Kota Bandung yang sudah kembali beraktivitas kerja seperti biasa.
Baca Juga:Mau Terbitkan Aturan, Menag: Jika Ibadah Natal di Rumah, Jangan Berkerumun
Menurutnya, PSBB bisa menjadi opsi untuk diterapkan untuk mencegah meluasnya sebaran Covid-19 dari dua klaster tersebut. Namun, bila memilih untuk tidak diterapkan, maka 3M harus dilaksanakan dengan disiplin.
"Kalau mau PSBB juga bisa, dan lebih cepat lebih baik. Seperti strategi DKI Jakarta yang menarik rem darurat. Pelonggaran dan pengetatan dilakukan secara berulang," ungkapnya.
Ia menyebutkan, PSBB bisa menjadi opsi mengingat sumber penularan Covid-19 di Kota Bandung masih tergolong tinggi. Sehingga, masih banyak orang yang rentan terpapar Covid-19.
"Selama masih ada sumber penularan dan banyak orang yang rentan, maka kita masih berada di bawah ancaman ledakan kasus," paparnya.
Panji mengatakan, bila PSBB akan dilaksanakan, sebaiknya kebijakan tersebut diterapkan selama dua kali masa inkubasi yakni 28 hari, alih-alih hanya 14 hari sebagaimana yang sebelumnya dilaksanakan. Durasi waktu yang diperlukan untuk melaksanakan PSBB agar kasus dapat ditekan sangat tergantung dari kapan kebijakan tersebut diambil.
"Tergantung secepat apa kita melakukan PSBB. Kalau mau PSBB, keputusan harus cepat, jangan terlambat, sehingga dampaknya dapat lebih cepat dicapai," ungkapnya.
Ia mengatakan, bila pemerintah tidak melakukan penyesuakan kebijakan untuk mengontol kasus Covid-19, maka peningkatan kasus adalah sebuah keniscayaan.
"Yang jelas kalau kondisi sekarang dipertahankan, maka saya yakin peningkatan kasus akan terus terjadi. Kecuali kalau semua sudah sakit," ungkapnya.