Kasus KDRT di Kabupaten Bandung Melonjak selama Pandemi Covid-19

Sejak pandemi, ada sebanyak 10,3 persen responden mengaku hubungan mereka dengan pasangan semakin tegang.

Ari Syahril Ramadhan
Senin, 30 November 2020 | 10:58 WIB
Kasus KDRT di Kabupaten Bandung Melonjak selama Pandemi Covid-19
ILUSTRASI. Korban KDRT di Indrmayu. (foto : Abdul Rohman/ Suarajabar.id)
Mimin saksi KDRT istri bacok suami di Cikidang Sukabumi memperlihatkan luka dijari tangannya. (Sukabumiupdate.com/Ruslan AG).
Mimin saksi KDRT istri bacok suami di Cikidang Sukabumi memperlihatkan luka dijari tangannya. (Sukabumiupdate.com/Ruslan AG).

Selain itu, RUU PKS pun mengakomodasi masalah pencegahan kekerasan seksual dan mengatur pula terkait perlindungan, hak saksi dan korban juga pemulihan korban.

Makanya, Yayasan Sapa menggarap agenda rutin menggandeng organisasi masyarakat yang menolak RUU PKS. Dindin mengaku sangat penting upaya sosialisasi terhadap masyarakat yang notabene acuh terhadap RUU PKS.

“Kami ajak diskusi mereka karena selama ini kami menduga ada semacam mispersepsi tentang RUU itu di kalangan ormas Islam yang dalam tanda kutip menolak atau misalkan menolak sebagian,” tukasnya.

Terkini, nasib RUU PKS direncanakan untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2021, nanti. Sebelumnya RUU itu keluar dari Prolegnas prioritas 2020, karena beberapa alasan yang disodorkan politikus Senayan semisal kebingungan membuat judul hingga bentrok dengan finalisasi KUHP.

Baca Juga:Bertahan di Tengah Pandemi dengan Bisnis Lukis Sepatu

Kepala Seksi Pencegahan dan Pelayanan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung Yadi Setiadi mengatakan pihaknya pun baru saja menetapkan Peraturan Bupati (Perbup) nomor 120 Tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Perbup itu salah satunya dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah Kabupaten Bandung untuk mengatasi masalah KDRT.

“Bulan November (2020) kemarin baru keluar, sudah diteken pak Bupati (Dadang Naser),” bebernya.

Meski begitu, kendala yang dihadapi dan masih menjadi pekerjaan rumah Yayasan Sapa, yakni adanya semacam kemerosotan pemahaman di tingkat pemerintah lokal. Saat pemahaman masyarakat meningkat, justru pihak pemerintah lokal masih menganggap kasus kekerasan sebagai aib.

“Kadang dukungan dari pemerintah masih sangat dirasakan kurang mungkin ini terkait dengan citra dari pemerintah. Kadang dari pemerintah di tingkat lokal RW atau Desa bukannya mereka mendukung korban untuk melapor justru menutup-nutupi karena anggapannya terkait dengan citra yang akan buruk,” katanya.

Pemerintah pun terkadang tidak maksimal dalam memberikan pelayanan terhadap korban kekerasan. Misalnya dalam memfasilitasi tempat tinggal sementara korban yang dibatasi sampai 21 hari saja. Setelah masa itu habis, beres atau tidak beres korban terpaksa harus meninggalkan shelter yang disediakan pemerintah dalam hal ini P2TP2A.

Baca Juga:Kreativitas Bisnis Lukis Sepatu Bertahan di Tengah Pandemi

“Makanya terkadang kami ambil alih lagi penanganan korban dan itu membutuhkan biaya yang cukup besar semisal pengadaan rumah aman ataupun shelter,” kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak