Tolong Kang Emil, Bayi Saya Sakit Parah tapi Tak Bisa Dirawat di RS

Fauzian Saepuloh mengidap hidrosefalus dan harus dioperasi secepatnya. Orang tua bayi berharap Gubernur Jawa Barat mau turun tangan membantu anaknya yang ditolak sejumlah RS.

Ari Syahril Ramadhan
Kamis, 28 Januari 2021 | 09:36 WIB
Tolong Kang Emil, Bayi Saya Sakit Parah tapi Tak Bisa Dirawat di RS
Fauzian Saepuloh, bayi yang lahir pada 31 Desember 21 di Kota Bandung ini mengidap hidrosefalus namun belum bisa dioperasi dengan alasan sejumlah rumah sakit penuh. [Suara.com/Emi La Palau]

SuaraJabar.id - Fauzian Saepuloh, bayi yang lahir pada 31 Desember 21 ini terbaring lemah dalam balutan selimut tipis. Mata bayi mungil itu sulit ditutup karena lingkar kepalanya terus membesar.

Tangan kirinya yang lumpuh hanya dibalut dengan perban seadanya serta selang susu yang terus menempel di mulut. Dokter mendiagnosa bayi malang tersebut mengidap Hidrosefalus beberapa hari sejak ia dilahirkan pada 31 Desember 2020 lalu.

Kondisinya yang lahir secara prematur dan terlambat ditangani saat lahiran, membuat bayi mungil tersebut secara fisik semakin mengkhawatirkan. Fauzian membutuhkan penanganan cepat dari rumah sakit.

Namun hingga kini harus menunggu karena ketersedian kamar bayi rumah sakit penuh di Kota Bandung.

Baca Juga:Curhat Pemikul Jenazah Covid-19 TPU Cikadut Disebut Pungli dan Mogok Kerja

Mendung usai hujan sore hingga malam tadi, membuat Bandung semakin dingin, hening dan pekat malam tampak menguasai ruangan rumah buyut sang bayi di seputaran Pasirkoja, Kelurahan Babakan seolah ikut murung dengan kondisi Fauzian.

Saepuloh (36) sang ayah, terpaksa membawa Fauzian ke buyutnya, karena kondisi sang istri Ina Siti Rohimah (21) dalam kondisi catat pada kaki sejak lahir, sehingga cukup sulit untuk merawat Fauzian dengan kondisi yang terus melemah.

Siang itu, Saepuloh mencari-cari becak untuk mengantar istrinya ke bidan terdekat, karena ia tidak memiliki kendaraan, dan alasan kondisi keuangan membuatnya tidak memesan taksi online terlebih dahulu.

Dalam kondisi ketuban yang telah pecah, ternyata sang istri sudah tidak dapat ditangani dan terpaksa harus dirujuk ke Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA), proses persalinan harus dilakukan dengan cara sesar.

"Terus pas dibawa ke RS pertamanya mau disesar tidak jadi. Alhamdulillah dia (Fauzian) keluar, lahirannya bisa normal," ungkap Saepuloh kepada Suara.com saat ditemui Selasa (26/1/2021) malam.

Baca Juga:Cerita Tukang Panggul Jenazah COVID-19 Cikadut Sakit Hati ke Wali Kota Oded

Masalah terus berlanjut, usai berhasil dilahirkan secara normal, kabar tidak mengenakkan datang dari dokter yang menangani.

Fauzian sempat mengalami kejang-kejang cukup lama kemudian muntah, ia keracunan ketuban sang ibu, dan tangan kirinya lumpuh tidak bergerak. Kabar tidak mengenakkan lain, lingkar kepalanya terus membesar dan harus dioperasi.

Sejak lahir, diketahui lingkar kepala Fauzian berukuran 37 cm, lalu mulai bertambah 41 cm, dan terakhir diukur kembali sudah semakin bertambah menjadi 45 cm. Kondisi ini yang akhirnya membuat Saepuloh dan istrinya semakin khawatir terhadap kondisi anak pertama mereka.

Ia ingin, Fauzian bisa segera dioperasi, karena jika terus menunggu pihaknya mengkhawatirkan kepala sang anak terus membesar.

Setelah berputar-putar mencari rumah sakit yang dapat menangani anaknya, akhirnya keluarga mendapat nomor antrian di RS Santosa.

Sebelumnya, Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Kota Bandung (RSKI) tempat istrinya melahirkan tidak mampu mengambil banyak tindakan terhadap kondisi Fauzian dengan alasan keterbatasan alat operasi.

Saepuloh dan keluarga lalu disarankan untuk di rujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, namun pil pahit kembali ditelan, pasalnya setelah menunggu beberapa waktu, pihak rumah sakit malah menyarankan agar dirujuk ke rumah sakit lain tanpa memberikan alasan mengapa di RSHS tidak bisa menangani Fauzian.

Ketika itu, sang istri ditemani kaka perempuan Yeni (32) yang membantu mengantar Fauzian ke RSHS Bandung. Namun setibanya di rumah sakit, pihaknya tidak langsung mendapat penanganan. Dokter yang ditemui justru menyarankan agar dirujuk ke rumah sakit lain.

“Waktu ke RSHS ketemu dokter bedah syaraf dr. Asep Nugraha Hermawan, tapi katanya sebaiknya diganti rujukannya jangan RSHS ke RS Santosa saja, kata dokternya sudah menghubungi pihak RS Santosanya, tapi kami tidak diberikan surat rujukan dan kami keluarga disuruh pulang,” ungkap Yeni menjelaskan.

“Akhirnya kami harus minta surah rujukan lagi dari Puskesmas Cibuntu untuk dirujuk kembali ke RSKIA, baru dari RSKIA minta dirujuk ke RS Santosa, tapi itu bingung tidak dijelaskan (oleh RSHS) alasannya kenapa tidak bisa dirawat,” tambah Yeni menjelaskan.

"Di Santosa, sudah di-scan, dan sudah ambil nomor antrian, soalnya kataya kamar penuh, harus tunggu di tanggal 4 Februari katanya nanti akan dihubungi pihak rumah sakit," tambah Saepuloh.

Sang anak belum mendapatkan kamar dan terpaksa pulang dalam kondisi dan keadaan semakin melemah. Ketika ditanya mengenai kesiapan keuangan untuk biaya pengobatan, dengan suara berat dan rasa cemas yang tergambar dari raut wajah Saepuloh, ia masih kebingungan dengan pendanaan pengobatan sang anak.

Saepuloh hanya bekerja sebagai pemusik paruh waktu, yang bertahan dari panggung ke panggung dengan pendapatan tidak seberapa, ditambah pandemi menghantam bidang pekerjaannya. Terhitung sudah 10 bulan, selama pandemi ia baru mendapat panggilan manggung kurang dari 8 kali.

Saepuloh hanya menggantungkan hidup pada pekerjaannya sebagai pemain piano yang sudah dilakoni sejak tahun 2007. Awal-awal pandemi melanda, ia terpaksa menjual alat musik satu-satunya untuk bertahan hidup.

"Terpaksa dijual untuk bertahan hidup selama pandemi, dan sekarang kalau manggung harus sewa piano, dulu sebelum pandemi seminggu bisa manggung 4 kali seminggu, sekarang satu kali sebulan saja susah, dan kalau ada panggilan saat ini biar bayarannya tidak seberapa diambil, yang penting bisa makan," ungkapnya.

Dalam kondisi serba sulit, selain mengontrak, ia bertahan dengan sedikit iuran dari rekan-rekan sesama musisi. Saepuloh berharap agar sang anak segera mendapat penangan, dan juga bantuan dari pemerintah.

"Ada untuk makan, tidak banyak tapi Alhamdulillah bersyukur, walaupun keadaan kayak gini saya dapat bantuan ada teman-teman yang ngasih, ini buat anak, teman-teman musisi, berpartisipasi. Sebenarnya saya tidak mau bilang, dikarenakan saya tidak kuat nahannya, karena keadaan anak saya sendiri yang pertama cari dana dari mana. Yaudah ngomong aja langsung dari musisi Cimahi," ungkapnya.

"Harapannya ingin anak saya cepat-cepat dioperasi saja, ingin cepat ditangani sama dokter, ingin cepat sembuh, itu yang saya harapkan, kalau misalkan soal dana ya belum kepikiran apalagi sampai puluhan juta. Apalagi sampai 15 juta kesana," imbuhnya.

Ketika dikonfirmasi mengenai penuhnya rumah sakit, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung, Ahyani Raksanagara tidak menanggapi banyak, ia mengungkapkan bahwa dalam penanganan pasien ada kondisi darurat dan terencana.

Ia mengungkapkan karena sedang dalam pandemi Covid-19 memang fokus rumah sakit lebih banyak terhadap pasien yang terpapar virus corona. Namun, mengenai pengalihan fungsi kamar pasien menjadi kewenangan masing-masing rumah sakit.

"Bisa ya bisa tidak (penuh karena diisi pasien Covid-19), yang pasti memang kita sedang pandemi Covid maka fokus ke sana. Mengenai pengalihan layanan RS yang tahu apakah menggeser pelayanan atau menambah (untuk pasien Covid)," ungkapnya.

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah Direktur RSKIA Bandung, Taat Tagore membenarkan masih kurangnya fasilitas rumah sakit untuk menangani pasien anak dengan diagnosa Hidrosefalus. Pihaknya mengaku belum memiliki dokter spesialis bedah syaraf untuk menangani pasien seperti Fauzian.

"Iya betul, karena RSKIA belum punya dokter spesialis bedah syaraf, biasanya pasien dirujuk ke RS yang mempunyai kompetensi untuk melakukan operasi tersebut, seperti RSHS, RSUD Ujungberung, RS Santosa," ungkapnya.

Di lain pihak, Humas RSHS Bandung, Fitri belum bisa menjelaskan alasan Fauzian tidak bisa ditangani oleh pihak rumah sakit. Karena ia harus mengkonfirmasi terlebih dahulu mengenai kejadian tersebut dan meminta nomor rekam medis dari pihak keluarga pasien.

“Harus dikonfirmasi dulu, barangkali ada alasan lain, di RSHS pasien ribuan per hari, jadi kalau tidak ada nomor rekam medis agak susah ditelusuri,” ungkapnya.

Ketika Suara.com mencoba menjelaskan kronologis dari pihak keluarga pasien, bahwa Saepuloh dan keluarga tidak memegang nomor rekam medis, hal tersebut dikarenakan ketika bertemu pertama kali dengan dokter Hermawan, rekam medis tersebut telah diberikan.

Pihak RSHS tidak menampik, bahwa rekam medis memang tidak diijinkan untuk dibawah pulang. Namun masih tetap meminta nomor rekam medis, sementara pihak keluarga pasien tidak lagi memegang hal tersebut dan tidak mengetahui.

Hingga saat ini, bayi malang Fauzian masih terbaring lemah di kediaman buyutnya, dan lingkaran kepala yang terus bertambah sambil menunggu jadwal dari rumah sakit untuk mendapat tempat tidur perawatan.

Saepuloh berharap ada pihak yang mau mengulurkan tangan, khususnya Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar bisa membantu biaya operasi sang anak.

Ia juga berharap Gubernur Jawa Barat dapat membantu mencarikan solusi terbaik bagi anaknya yang membutuhkan pertolongan medis secepatnya.

Kontributor : Emi La Palau

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini