SuaraJabar.id - Seperti rumah-rumah tua peninggalan Belanda, rumah di Kebon Kopi, Kelurahan Cibeureum, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi ini nampak luas, tinggi dan artistik. Halamannya juga cukup luas.
Ciri arsitektur kolonial sangat kental melekat pada rumah tua, yang bergaya indisch stijl. Teras depannya luas dan tinggi. Hal itu ditandai dengan halaman teras yang ditopang enam batang pilar doric yang tinggi dan kokoh dengan dekorasi artistik di setiap pilarnya.
Rumah tua itu terkesan seram karena rerimbunan pohon-pohon menyerupai hutan. Terdapat lahan pekuburan dan sumur di belakang rumah sehingga menimbulkan kesan angker, sunyi dan mistis.
Meski bergaya Belanda, usut punya usut rumah itu milik warga pribumi. Apalagi belum ada catatan yang pasti jika rumah tua itu pernah dihuni oleh keluarga Belanda. Pemiliknya membangun rumah tua bergaya Belanda.
Baca Juga:Terungkap! Dokter Jelaskan Mengapa Pasien Hipertensi Rentan Kena COVID-19
Namun, kini kepemilikannya sudah beralih ke salah satu perusahaan taksi. Informasinya, kini rumah tua itu sudah dijadikan mess untuk para pengemudi taksi. Meski begitu, arsitekturnya tidak ada yang dirubah. Begitupun pepohonan di sekelilingnya.
"Itu keluarga pribumi, tapi karena orang kaya bikin bangunan megah. Arsitekturnya pribumi, Belanda dan China," terang Ketua Komunitas Tjimahi Heritage kepada Suara.com, Jumat (4/6/2021).
Sejarah Rumah Tua
Belum jelas kapan ruma tua tersebut dibangun. Namun dari batu nisan yang terletak di belakang rumah, ada kuburan tertua yakni atas nama Wangsadinarta yang wafat tahun 1855. Artinya, kemungkinan besar rumah itu dibangun sebelum tahun tersebut.
Sangat mungkin Wangsadimarta adalah generasi pertama penghuni rumah tua itu. Apalagi generasi berikutnya muncul nama Wangsadikrama dan Wangsakoesoemah. Keluarga besar tersebut lebih dikenal sebagai sebagai keluarga Wangsadikrama.
Baca Juga:Tagar Kemanain Dana Haji Trending, Publik Sindir Pakai Video Rizal Ramli
Keluarga yang kemungkinan berasal dari Trenggalek, Jawa Timur disebut merupakan juragan kopi saat itu. Keberadaan juragan itulah yang menjadi salah satu cikal bakal munculnya penamaan daerah Kebon Kopi di wilayah Cibeureum.
"Masih ada sisa tanaman kopi di sana. Disebutnya juragan kopi," ucap Machmud.
Daerah Penghasil Kopi
Dulunya, Cimahi masuk Distrik Cilokotot. Salah satu hasil bumi yang ada saat itu adalah kopi. Selain itu ada juga perkebunan tebu dan tembakau serta area sawah.
Berdasarkan catatan, area perkebunan di Cimahi dimulai ketika salah satu orang kepercayaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Maarschalk Herman Willem Dendels yakni Andries de Wilde yang juga diperbantukan Gubernur Sir Tomas Stamford Raffles dari Inggris.
Sekitar tahun 1835-an, Andries de Wilde menukar tanahnya di Sukabumi dengan lahan di wilayah Bandung, yang meliputi Cimahi Barat sampai Cibeusi di timur Bandung. Sebelah utara dibatasi Gunung Tangkubanparahu, di selatan dibatasi Jalan Raya Pos.
"Memang sudah jelas ada kebun tebu, kopi, sawah, tembakau," ucap Machmud.
Sebagai daerah penghasil kopi zaman dulu, di Cimahi juga terdapat gudang khusus penyimpanan kopi di wilayah Tagog. Gudang kopi tersebut kini dijadikan SDN Karangmekar Mandiri 1.
Jadi Lokasi Syuting Film
Keberadaan rumah tua milik juragan kopi itu ternyata mengundang daya tarik sebuah rumah produksi untuk lokasi pembuatan beberapa judul film. Salah satunya yang paling menyita perhatian yakni film berjudul "Max Havelaar of de Koffieveilingen Nederlandsche Handelmaatschappij".
Film itu diproduksi PT Mondial Motion Pictures Jakarta tahun 1973 yang diangkat dari buku termashur yang terbit tahun 1860 karya Multatuli. Film tersebut berlatar kehidupan seorang Asisten Residen Lebak.
Film yang diadaptasi dari roman yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B Jassin itu menceritakan pembelaan seorang Asisten Residen Lebak terhadap rasa keadilan yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda atas tindakan kesewenang-wenangannya terhadap penduduk pribumi.
"Iya ada beberapa film yang dibuat di rumah tua itu. Tapi yang beken film Multatuli (Max Havelaar)," tukas Machmud.
Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki