Kejadian itu membuka mata Dindin, bahwa penggusuran itu tak hanya memakan kerugian harta. Lebih dalam lagi, menyisakan luka batin dan merusak kehidupan sosial. Meski di sisi lain, ternyata turut memupuk rasa solidaritas senasib-sepenanggungan.
Setiap Malam Bergilir Jaga Kampung
Di depan rumah yang dijadikan posko itu terdapat spanduk putih. Selebar kira-kira tiga meter, terpampang menutup pagar. Spanduk itu seperti bertugas mencuri mata siapapun yang lewat.
"Rapatkan barisan, tetap berpegang tangan," begitu nukilan yang tercantum di sana.
Baca Juga:Persib Seri Terus, Polrestabes Bandung Panggil PT PBB dan Bobotoh
Selasa (12/10/2021) lalu, selepas waktu Isya, di posko itu Eti dan Dindin tidak hanya berdua. Ada sekitar lima warga lainnya. Sambil main kartu, sesekali mereka turut dalam percakapan.
Di luar, suara anak-anak muda berebut telinga dengan suara hujan. Mereka berkumpul di sebuah pos penjagaan di muka posko. Udara perlahan dingin, seperti berusaha menusuk-nusuk ke dalam pakaian.
Kejadian di Jalan Sukabumi itu membuat warga Jalan Anyer Dalam merasa resah. Warga takut sewaktu-waktu ada orang-orang yang datang lalu melakukan penggusuran. Karenanya, kini mereka sepakat bergiliran ronda setiap malam. Dalam kecemasan itu, mereka berupaya waspada, bahkan tak jarang jadi jatuh pada rasa curiga.
"Saya takut. Kepikiran, bingung tidak bisa tidur," suara Eti bergetar.
"Anak di rumah juga jadi takut. Suka bilang 'bapak, ayo pergi, ayo pergi'," timpal warga lain.
Baca Juga:7 Wisata Bandung Lembang, dari Konsep Koboi Amerika hingga Pasar Apung
Warga Menggugat