SuaraJabar.id - Sekira pukul tiga dini hari, Teti Sumiati yang tidur mendekap si buah hati terbangun diusik dingin. Pakaiannya kuyup, tembus ke kulit punggung. Dalam separuh kantuk, ia sempat mengira itu ompol si kecil.
Namun, perempuan disabilitas netra yang kini berusia 33 tahun itu keliru. Ia tak sadar, selagi tidur luapan air sungai ternyata masuk ke kamarnya. Saat Teti turun dari dipan, banjir itu terukur sudah selutut.
Teti pun terperanjat segera memangku sang anak, membawanya ke ruangan lain yang lebih tinggi. Suaminya, Ujang Permana Saufi, 46 tahun, juga seorang disabilitas netra, segera datang menyusul.
Mereka sempat bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, hanya diam menunggu dan berharap air bakal surut. Selang beberapa waktu terdengar suara tetangga, sejurus mereka pun bergabung keluar rumah. Untung air tak terus meluap, singkatnya mereka selamat.
Baca Juga:Masuk Cuaca Ekstrem, Ini Destinasi Wisata Sleman yang Rawan Bencana
Kejadian itu terjadi tiga tahun lalu, Jumat, 23 Februari 2018 di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Sedikitnya, ada 1.359 rumah yang terendam. Tersebar di lima desa yakni Desa Bojong, Desa Majakerta, Desa Majalaya, Desa Sukamaju, dan di Desa Majasetra, wilayah rumah Teti berada.
Teti kembali mengulang kisahnya kepada suara.com saat ia mengikuti kegiatan kewaspadaan bencana bagi kelompok perempuan disabilitas di balai Kecamatan Majalaya, Sabtu, 30 Oktober 2021 lalu.
Peristiwa banjir yang dia alami begitu membekas. Setiap musim penghujan tiba, ia mengaku selalu khawatir. Teti merasa dirinya rentan, karenanya merasa perlu belajar dari pengalaman.
Di lantai balai kecamatan, Teti duduk tertunduk di samping sang suami. Tubuhnya agak serong, telinganya condong ke sumber suara. Gesturnya menandakan ia tengah serius menyimak materi.
Di sana mereka berkumpul dengan beberapa orang dari ragam disabilitas yang berbeda, seperti disabilitas rungu wicara, intelektual, hingga disabilitas daksa. Ada tujuh perempuan disabilitas yang mengikuti kegiatan tersebut. Informasi dari panitia, seharusnya 10 orang namun tiga lain batal hadir karena sakit.
Baca Juga:Buka Suara, Lapas Perempuan Jogja: Yang Laporkan Kami Adalah Napi Baru Dua Bulan di LPP
"Acara seperti ini sangat jarang. Kami baru pertama kali ikut di sini," kata Teti seusai kegiatan.
"Dari yang tidak tahu jadi tahu. Misalnya, kita harus bisa memetakan rumah sendiri, harus tahu titik evakuasi ke mana, menyelamatkan berkas-berkas berharga, juga seperti mewaspadai titik colokan (listrik)," katanya.
Di sela kesibukan sebagai guru honorer di sebuah sekolah luar biasa (SLB), Teti Sumiati bersama sang suami kini mengelola sebuah panti asuhan. Ada sekitar 20 anak yatim piatu yang mereka asuh.
Bangunannya merangkap dengan rumah. Anak-anaknya kebanyakan disabilitas netra. Kondisi tersebut jadi motivasi morel baginya. Ia merasa sangat bertanggung jawab atas keselamatan anak-anak, ia harus bisa diandalkan.
Menurutnya, pembekalan kewaspadaan bencana itu harus dilakukan secara berkelanjutan. Dengan demikian, kebutuhan khusus kelompok disabilitas nantinya lebih terpetakan, sehingga mampu mengurangi risiko bencana.
"Contohnya, kalau ada banjir harusnya ada tanda suara, bisa pakai kentungan atau memukul tiang listrik. Waktu itu (saat banjir tahun 2018) tidak ada tanda bunyi," katanya.
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Inklusi Indonesia (CAI), Kustini, sebagai inisiator kegiatan mengakui bahwa selama ini pelatihan manajemen kebencanaan bagi disabilitas memang masih sangat langka.
Padahal, kata Kustini, jika mengacu pada pasal 11 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) negara sepatutnya berperan aktif dalam menjamin perlindungan dan keselamatan kelompok disabilitas dalam situasi berisiko, darurat kemanusiaan dan bencana.
Kustini sendiri merupakan perempuan disabilitas daksa. Menurutnya, saat terjadi bencana perempuan disabilitas menjadi kelompok yang sangat rentan.
Atas dasar itu, bekerjasama dengan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kabupaten Bandung, Kustini dan kawan-kawan dari CAI membuat program yang rencananya bakal bergulir selama setahun itu.
"Perempuan disabilitas sangat rentan. Upaya peningkatan kapasitas untuk pengurangan risiko bencana harus mendapat perhatian," katanya.
"Kalau kami menunggu negara, mau kapan? Mungkin belum tentu," tegasnya.
Kontributor: M Dikdik RA