SuaraJabar.id - Sejumlah mahasiswa, jurnalis dan beberapa perwakilan kelompok masyarakat sipil di Kota Bandung menggelar unjuk rasa di depan Hotel Pullman Bandung Grand Central, Jalan Diponegoro, Rabu siang (7/9/2022).
Mereka menyuarakan penolakan atas pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Massa aksi menamakan diri Aliansi Sipil untuk Kebebasan Berekspresi, diisi gabungan perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Aksi Kamisan Bandung, perwakilan mahasiswa Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, juga beberapa lembaga pers mahasiswa.
Aksi itu diketahui bertepatan dengan sebuah acara bertajuk Dialog Publik RUU KUHP yang juga diselenggarakan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) di hotel bintang lima tersebut.
Baca Juga:Usut Mutilasi Warga Sipil di Mimika Papua, Jokowi Didesak Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
Massa aksi menilai bahwa acara yang dibuat KSP hanya formalitas belaka. Selama ini, pemerintah maupun DPR-RI dipandang tidak pernah benar-benar serius mendengar suara publik dalam proses penyusunan RUU KUHP.
"Di dalam sana terselenggara sebuah diskusi publik yang kami nilai sebagai partisipasi tidak bermakna. Hanya upaya melanggengkan pasal-pasal bermasalah," ungkap Heri dari LBH Bandung. "
Untuk diketahui, beberapa pihak yang diundang KSP dalam diskusi publik tersebut di antaranya berasal dari pemerintahan, lembaga-lembaga masyarakat, termasuk organisasi wartawan hingga pimpinan redaksi atau kepala biro sejumlah media.
Selain formalitas, acara diskusi publik itu dicurigai jadi upaya melegitimasi pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHP.
"(Seolah) memperlihatkan bahwa KSP sudah mencoba mendengarkan aspirasi publik, yang ada (malah) mereka yang hadir, saya yakin dan memang saya punya prasangka buruk, akan dianggap sudah menyepakati, sudah menyetujui narasi dari RKUHP yang ada sekarang ini," ungkap seorang jurnalis, Adi Marsiela, dalam orasinya.
Ketua AJI Bandung, Tri Joko Her Riyadi menegaskan, AJI sudah melakukan kajian bersama akademisi atas draf RUU KUHP. Dari kajian tersebut, setidaknya ada 19 pasal bermasalah yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers, termasuk kebebasan berekspresi maupun berpendapat.
Jika RUU KUHP itu lolos, kata Joko, itu sama artinya dengan menjerumuskan kerja-kerja pers pada delik pidana, yang padahal selama ini sudah diatur melalui UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
Ancaman pidana dalam pasal bermasalah RUU KUHP itu dianggap rentan jadi alat bakal pemberangus kebebasan sipil, menyemai ketakutan di khalayak.
"Yang paling buruk adalah ketika warga ketakutan. Ketakutan menyampaikan idenya, gagasan, suara. Bahwa menurut saya negara demikian (yang membuat warga ketakutan) adalah seburuk-buruknya negara," ungkapnya.
Sebagai catatan, kesembilan belas pasal yang dianggap bermasalah itu ialah 188 (tentang penyebaran dan pengembangan Komunisme, Marxisme-Leninisme), pasal 218, 219, 220 (tentang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden), pasal 240-241 (penghinaan terhadap pemerintah), pasal 263 (tentang berita bohong), pasal 264 (tentang berita tidak lengkap, tidak pasti dan berlebih-lebihan).
Selanjutnya, pasal 280 (tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan), pasal 302, 303 dan 304 (tentang agama dan kepercayaan), pasal 351 dan 352 (tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara), pasal 440 (tentang penghinaan ringan), pasal 437 (tindak pidana pencemaran), pasal 443 (tindak pidana pencemaran orang mati), dan pasal 598-599 (tindak pidana tentang penerbitan dan percetakan).
Di penghujung aksi, seorang perwakilan dari KSP diketahui turun lantai menemui massa. Namun, ia tak diberi kesempatan banyak bicara. Pasalnya, KSP selama ini dianggap sudah terlalu banyak omong tapi kurang mendengar.
Perwakilan KSP tersebut dipaksa diam dan mendengar tiga tuntutan yang disampaikan koordinator aksi yang juga Kepala Divisi Advokasi AJI Bandung, Ahmad Fauzan.
Tiga tuntutan tersebut yakni mendesak agar DPR-RI pemerintah untuk mencabut 19 pasal bermasalah dalam RUU KUHP, tidak buru-buru mengesahkan RUU KUHP dan mendengar secara serius serta mengakomodasi pendapat-pendapat publik.
"Selama ini pemerintah dan DPR-RI seperti kebal kuping terhadap suara publik, memilih mensosialisasikan RKUHP ketimbang membuka partisipasi publik," tegas Fauzan.
Kontributor : M Dikdik RA