Jika RUU KUHP itu lolos, kata Joko, itu sama artinya dengan menjerumuskan kerja-kerja pers pada delik pidana, yang padahal selama ini sudah diatur melalui UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
Ancaman pidana dalam pasal bermasalah RUU KUHP itu dianggap rentan jadi alat bakal pemberangus kebebasan sipil, menyemai ketakutan di khalayak.
"Yang paling buruk adalah ketika warga ketakutan. Ketakutan menyampaikan idenya, gagasan, suara. Bahwa menurut saya negara demikian (yang membuat warga ketakutan) adalah seburuk-buruknya negara," ungkapnya.
Sebagai catatan, kesembilan belas pasal yang dianggap bermasalah itu ialah 188 (tentang penyebaran dan pengembangan Komunisme, Marxisme-Leninisme), pasal 218, 219, 220 (tentang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden), pasal 240-241 (penghinaan terhadap pemerintah), pasal 263 (tentang berita bohong), pasal 264 (tentang berita tidak lengkap, tidak pasti dan berlebih-lebihan).
Baca Juga:Usut Mutilasi Warga Sipil di Mimika Papua, Jokowi Didesak Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
Selanjutnya, pasal 280 (tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan), pasal 302, 303 dan 304 (tentang agama dan kepercayaan), pasal 351 dan 352 (tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara), pasal 440 (tentang penghinaan ringan), pasal 437 (tindak pidana pencemaran), pasal 443 (tindak pidana pencemaran orang mati), dan pasal 598-599 (tindak pidana tentang penerbitan dan percetakan).
Di penghujung aksi, seorang perwakilan dari KSP diketahui turun lantai menemui massa. Namun, ia tak diberi kesempatan banyak bicara. Pasalnya, KSP selama ini dianggap sudah terlalu banyak omong tapi kurang mendengar.
Perwakilan KSP tersebut dipaksa diam dan mendengar tiga tuntutan yang disampaikan koordinator aksi yang juga Kepala Divisi Advokasi AJI Bandung, Ahmad Fauzan.
Tiga tuntutan tersebut yakni mendesak agar DPR-RI pemerintah untuk mencabut 19 pasal bermasalah dalam RUU KUHP, tidak buru-buru mengesahkan RUU KUHP dan mendengar secara serius serta mengakomodasi pendapat-pendapat publik.
"Selama ini pemerintah dan DPR-RI seperti kebal kuping terhadap suara publik, memilih mensosialisasikan RKUHP ketimbang membuka partisipasi publik," tegas Fauzan.
Kontributor : M Dikdik RA