SuaraJabar.id - Kalimat "belum kenyang kalau belum makan nasi" cukup akrab di Indonesia. Namun maknanya tak berlaku bagi warga di Kampung Adat Cireundeu.
Warga kampung adat yang berada di RW 10 Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi itu cukup hanya dengan mengkonsumsi makanan dari singkong untuk mengenyangkan perut mereka.
Kebiasaan masyarakat mengkonsumi nasi dari singkong untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari itu sudah digagas sejak tahun 1918. Salah satu pencetusnya adalah Aki Ali yang berpikir bahwa sumber pangan warganya yang dijajah harus dipertahankan.
Kondisi masyarakat ketika itu dalam keadaan terjepit ditengah penguasaah penjajah terhadap perkebunan rakyat. Selain itu, letak geografis yang berada di pegunungan membuat warga tidak bisa menanam padi di sawah.
Baca Juga:Produksi Beras Sumbar pada 2022 Diperkirakan Mencapai 823.876 Ton
Sehingga para sesepuh dan warga Kampung Adat Cireundeu kala itu berpikir sudah waktunya untuk beralih dari makanan pokok yang berasal dari beras menjadi makanan yang berasal dari umbi-umbian seperti singkong.
"Kalau berbicara sejarah itu rasi (nasi dari singkong) itu dari 1918, tapi itu baru digagas sesepuh dulu baru mencoba umbi-umbian," kata Abah Widi, sesepuh Kampung Adat Cireundeu kepada Suara.com belum lama ini.
Enam tahun kemudian tepatnya tahun 1924 sesepuh dan warga mengembangkan singkong menjadi sebuah beras. Ketika sudah biasa dikonsumsi, pemerintah setempat kalau itu menamainya makanan pokok itu rasi.
Rasi ialah kependekan dari beras singkong. Bahannya murni semuanya dari singkong atau ketela, tanpa campuran apapun. Setelah dimasak, bentuknya bulat kecil dan warnanya putih kecoklatan.
Biasanya mereka makan nasi singkong itu dengan lauk pauk dan sayuran sama seperti halnya nasi dari beras padi. Sudah lebih dari satu abad warga Kampung Adat Cireundeu mempertahankan kemandirian pangan itu dengan terus menjadikan rasi sebagai makanan pokok.
Baca Juga:Hati-hati Potensi Bencana Hidrometeorologi di Jawa Barat Selama November 2022
Warga Kampung Adat Cireundeu yang kini berjumlah 60 kepala keluarga yang dihuni sekitar 240 jiwa yang menganut Sunda Wiwitan itu tak sepenuhnya menutup diri dari perkembangan zaman
Tentu saja modernisasi itu sedikit banyak membawa pengaruh. Tapi kebiasaan menngkonsumsi rasi singkok yang merupakan warisan dari para leluhur mereka akan tetap dipertahankan.
"Sudah komitmen dengan para penerus, anak-anak kecil bahwa kemandirian pangan ini harus terua dipertahankan," tegas Abah Widi.
Warga Kampung Adat Cireundeu tak khawatir akan kehabisan stok ketela. Hutan di kawasan di sana mencapai sekitar 50 hektare. Tentu saja tidak semuanya bisa digarap untuk dijadikan kebun singkong dan berbagai tanaman lainnya.
Ada bagian hutan yang tidak diizinkan untuk digarap. Tujuannya tentu saja untuk menjaga kelestarian alam. Hanya Leweung atau hutan Baladahan, lahan yang bisa untuk bercocok tanam, khususnya singkong yang menjadi panganan utama bagi masyarakat adat Cireundeu.
"Ada dua hutan yang gak bisa dipakai lahan tani. Tentu saja karena ada kekhawatiran bisa mengganggu alam. Kalau semua digarap bisa menjadi bencana alam," imbuh Abah Widi.
Kekinian, warga Kampung Adat Cireundeu tak hanya memanfaatkan singkong untuk dijadikan nasi saja. Mereka memanfaatkan singkong hingga kulitnya itu menjadi berbagai olahan. Dari mulai eggrol, dendeng, saroja, opak bumbu, keripik bawang, cireng, simping, kicipir hingga chese sticks.
Berbagai olahan makanan berbahan dasar singkong itu bisa menjadi buah tangan bagi para pengunjung yang datang ke Kampung Adat Cireundeu, yang memang sudah dikenal akan wisata budayanya.
Widaningsih (38) salah satu warga menuturkan, berbagai olahan berbahan singkong itu dimulai tahun 2010. Ketika itu ada seorang dosen dari salah satu perguruan tinggi di Kota Bandung yang sengaja datang ke Kampung Adat Cireundeu.
"Dosen itu tau Cireundeu terkenal dengan singkongnya sehingga mengajak bahaimana kalau dibikin olahan saja. Waktu itu pertama bikin eggrol," terangnya.
Ketahanan pangan sebagai kearifan lokal Kampung Adat Cireundeu dengan sentuhan inovasi bertajuk Gastrodiplomacy Cireundeu mendapat apresiasi penghargaan Top 45 Sistem Informasi Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik) Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) 2019 yang diselenggarakan Kementerian Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi tahun 2019.
"Kita terus berkomiymen untuk mempertahankan kemandirian pangan ini. Jadi kita tidak bergantung dengan pangan lainnya seperti beras," kata Widaningsih.
Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki