Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Kamis, 09 Januari 2020 | 13:10 WIB
Sepasang suami istri di Kabupaten Bekasi, Acum (60 dan Cicih (45) hidup dalam kemiskinan. (Suara.com/Yacub)

SuaraJabar.id - Sepasang suami istri di Kabupaten Bekasi, Acum (60 dan Cicih (45) hidup dalam kemiskinan. Mereka warga asal RT 02/06, Desa Cibening, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.

Acim dan Cicih beserta dua anak, Hendra Lodaya (15) dan Hendri Lestari (10) sudah tinggal di gubuk dengan pondasi bambu selama kurang lebih tiga bulan. Di sana, kondisi keluarga Acim benar-benar memilukan. Mereka harus merasakan dinginnya angin malam dan panasnya terik matahari.

Terlebih, gubuk yang berada di pesisir lahan pertanian itu, Cicih dalam kondisi yang tak sehat. Cicih menderita penyakit diabetes. Kaki kirinya bahkan masih terluka dalam bungkus perban yang telah diderita sejak ia tinggal di sana. Cicih baru mengetahui penyakit diabetesnya setelah kaki kirinya terluka dan tak kunjung sembuh.

“Waktu itu saya lagi nyawah (bertani) kena tunggak, kaki luka dan sampai sekarang,” kata Cicih saat ditemui di kediamannya itu, Kampung Rawa Atug RT 02/06, Desa Cibening, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Kamis (9/1/2020).

Baca Juga: Presiden Jokowi Dikabarkan Bakal Kunjungi Bekasi, Wali Kota: Jangan Deh

Namun, terpahit dalam hidupnya bukan soal penyakit yang diderita. Dari raut wajahnya, ada harapan besar dari Acim dan Cicih kepada dua anaknya yang masih kanak-kanak. Cicih bercerita, jika sebelumnya ia tinggal di rumah kontrakan petak di atas tidak jauh dari gubuk yang di bangun. Namun, ekonomi yang semakin tidak mendukungnya membuat Acim dan Cicih beserta dua anaknya itu harus tinggal di rumah saudaranya.

“Saya tinggal di rumah saudara beberapa bulan, tapi ada masalah, karena saya sakit-sakitan juga. Ngerepotin dan akhirnya ya disuruh pergi,” katanya.

Ekonomi yang mencekik membuat Acim nekat membuat gubuk di lahan perairan milik desa setempat. Ia membuat gubuk itu dengan pondasi bambu beratap asbes dan dinding berasal dari spanduk.

“Takut tinggal di sini, kemarin pas hujan angin itu berjam-jam suami pegangin bambu biar hak rubuh,” ujar dia.

Acim mengaku selama ini menghidupi keluarganya dengan bekerja serabutan. Dalam satu kali kerja, ia dapat meraih Rp 80 ribu. Uang sebesar itu ia pergunakan untuk makan dalam kurun waktu tiga hari.

Baca Juga: Anies Izinkan Pemkot Bekasi Buang Sampah Sisa Banjir di TPST Bantargebang

“Ya, namanya juga kan kerja serabutan. Kerja apa saja, jadi tukang, ya ngikut aja kalau ada orang kerja,” ujar dia.

Pekerjaan itu ia lakoni selama bertahun-tahun. Acim mengaku dengan duit itu dapat menghidupi keluarganya. Namun, makan dengan ala kadarnya.

“Makan kadang ya bikin bubur, atau rnggak nasi, pokoknya yang penting mah ada nasi, nanti lauknya ya apa saja seada-adanya,” imbuh Acim.

Cicih kini mengalami kondisi yang darurat. Penyakit diabetesnya mengalami kadar glukosa yang meninggi mencapai 374 dari normal biasanya 140. Tensi darah Cicih juga rendah hingga mencapai 70 hingga berpotensi drop dan Hemoglobin 3 dengan kategori anemia berat pengaruh dari kadar nutrisi.

Kondisi Acim dan Cicih yang merana menggerakan warga Desa Cibening, Setu, untuk bergotong-royong membangunkan rumah tinggal. Rumah itu dibangun 10 meter dari gubuk yang dibangun Acim.

Menurut Ketua RT 02/06, Kampung Rawa Atug, Desa Cibening, Setu, Sain PD (58) mengatakan pembangunan rumah tinggal untuk keluarga Acim hasil dari swadaya masyarakat.

Progres pekerjaannya saat ini sudah 80 persen. Bangunan itu berukuran 5,5 x 6 meter di lahan perairan milik desa. Warga menyumbang uang dengan nominal yang tak dipatok.

Setelah terkumpul material, Sain bersama warga lain ikut membangun rumah tinggal untuk Acim dan Cicih. Saat ini pondasi serta dinding telah terbangun.

“Sisanya atap baja ringan berikut juga lantai keramik. Ya kira-kira dalam satu minggu kerepan sidah dapat ditinggali,” katanya.

Sain sebagai kepala lingkungan merasa tak tega dengan kondisi keluarga Acim. Pembangunan rumah tinggal itu juga diakuinya atas persetujuan kepala desa setempat.

“Sebenarnya saya sempat meminta agar saudaranya dapat menyediakan lahan untuk sapat membangun rumah, tapi tidak ada respon. Akhirnya saya meminta izin kepala desa dan disetujui dibangun pada pahan perairan milik desa,” ungkapnya.

Kontributor : Mochamad Yacub Ardiansyah

Load More