Andi Ahmad S
Selasa, 29 Juli 2025 | 15:52 WIB
Ilustrasi lampu penerangan jalan umum atau korupsi kepala dinas Cianjur. [Antara]

SuaraJabar.id - Di balik penetapan tersangka Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Cianjur, Dadan Ginanjar (DG), dalam skandal korupsi Penerangan Jalan Umum (PJU), tersimpan sebuah modus operandi yang licin dan terstruktur.

Ini bukan sekadar kasus pejabat serakah, melainkan sebuah skema yang dirancang untuk mengelabui sistem dari hulu hingga hilir.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Cianjur tidak hanya menunjuk tersangka, tetapi juga membongkar "dapur" dari praktik korupsi yang diduga merugikan negara hingga Rp8,4 miliar.

Fokusnya ada pada satu istilah klasik dalam dunia korupsi pengadaan pinjam bendera. Memahami cara kerjanya adalah kunci untuk melihat betapa rapuhnya sistem pengawasan proyek pemerintah.

Setelah memeriksa 30 saksi, Kejari Cianjur menyimpulkan ada beberapa langkah kunci yang menjadi fondasi skandal ini. Berikut adalah rincian modus operandinya:

1. Pintu Masuk Menggunakan Konsultan Perencana "Abal-Abal"

Semua berawal dari tahap perencanaan. Tersangka MIH ditunjuk sebagai konsultan perencana. Namun, temuan kejaksaan sangat fatal: "MIH tidak memiliki sertifikasi keahlian sebagai konsultan perencana," ungkap Kepala Kejari Cianjur, Kamin.

Ini adalah gerbang utama korupsi. Dengan konsultan yang tidak kompeten (atau sengaja dibuat tidak kompeten), spesifikasi teknis proyek bisa diatur sesuka hati.

Harga bisa digelembungkan, kualitas material bisa diturunkan, dan semua dokumen perencanaan bisa dimanipulasi sejak awal untuk membuka celah keuntungan ilegal.

Baca Juga: Sosok Dadan Ginanjar, Kepala Dinas Cianjur yang Dinonaktifkan Akibat Skandal Korupsi Lampu Jalan

2. Aksi Utama Praktik Klasik "Pinjam Bendera"

Karena para pelaku utama diduga tidak memiliki perusahaan yang memenuhi syarat lelang, mereka menggunakan cara lama meminjam perusahaan orang lain.

Dalam kasus ini, nama PT GS dan PT SYB digunakan untuk maju sebagai pelaksana proyek PJU di wilayah utara dan selatan Cianjur.

Bagaimana cara kerjanya?

Peminjam Aktor intelektual atau pelaksana lapangan yang sesungguhnya.

Pemilik Bendera yakni Perusahaan yang namanya terdaftar resmi, memiliki dokumen legal, tetapi tidak mengerjakan proyek. Mereka hanya mendapat "biaya sewa" atau fee karena namanya dipakai.

Hasil Secara administratif, pemenang lelang terlihat sah. Namun, di lapangan, proyek dikerjakan oleh pihak lain yang kemungkinan besar tidak memenuhi kualifikasi teknis.

3. Peran Sentral Pejabat Pembiaran oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)

Di sinilah peran Dadan Ginanjar, yang saat itu menjabat Kepala Dinas Perhubungan, menjadi krusial. Sebagai KPA, ia memiliki tanggung jawab mutlak untuk memverifikasi, mengawasi, dan memastikan setiap tahapan proyek berjalan sesuai aturan.

Kejaksaan menduga DG "tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku." Artinya, ia diduga kuat melakukan pembiaran terhadap penggunaan konsultan bodong dan praktik pinjam bendera. Tanpa "lampu hijau" atau kelalaian dari KPA, modus ini mustahil berjalan mulus.

4. Ujung Cerita Proyek Asal Jadi, Negara Rugi Miliaran

Kombinasi dari perencanaan fiktif, pelaksana tidak kompeten, dan pengawasan yang lemah menghasilkan output yang bisa ditebak: proyek berkualitas rendah dengan biaya selangit.

Hasil penyelidikan Kejari mencatat bahwa perencanaan yang dibuat tidak sesuai standar. Ini berujung pada potensi kerugian keuangan negara yang masif, mencapai Rp8.491.605.289,63. Uang rakyat yang seharusnya menjadi tiang-tiang lampu penerang jalan, justru menguap akibat skema korupsi yang terencana.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa sistem lelang elektronik (LPSE) sekalipun masih memiliki celah yang bisa dieksploitasi jika tidak ada integritas dari para pejabat yang menjalankannya.

Load More