Andi Ahmad S
Kamis, 21 Agustus 2025 | 21:51 WIB
Kapolres Bogor, AKBP Wikha Ardilestanto [Egi/SuaraBogor]

SuaraJabar.id - Kematian tragis WS, warga Kampung Parungsapi yang tewas bersimbah darah di ujung parang, bukanlah sekadar buntut dari saling ejek di Hari Kemerdekaan.

Kematiannya adalah ledakan dari sebuah bom waktu, sebuah "luka lama" yang telah bernanah selama 15 tahun antara dua kampung bertetangga, Parungsapi dan Peteuy, di Desa Kalongsawah, Jasinga.

Apa yang terjadi pada 17 Agustus 2025 lalu hanyalah pemicu kecil yang menyalakan api dari dendam yang sudah lama tersimpan.

Polisi yang menggali lebih dalam menemukan fakta pahit kedua kampung ini hidup dalam rivalitas abadi yang diwariskan dari generasi ke generasi, berawal dari arena yang seharusnya menjunjung sportivitas, lapangan sepak bola.

Menurut Kapolres Bogor, AKBP Wikha Ardilestanto, permusuhan ini adalah warisan kelam. Setelah berbicara dengan para tetua adat, tokoh masyarakat, dan pemuda dari kedua belah pihak, terungkap bahwa benih kebencian itu sudah ditanam sejak satu setengah dekade silam.

"Jadi kemarin saya turun langsung, mendengar langsung dari kedua belah pihak. Sejatinya konflik yang ada di wilayah tersebut sudah berlangsung sudah lama, informasi dari tokoh masyarakat hingga tokoh pemuda itu sudah berlangsung 15 tahun," kata AKBP Wikha, Kamis (21/8/2025).

Sebuah pertandingan sepak bola, yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi, justru menjadi titik awal perpecahan.

Gengsi, harga diri kampung, dan provokasi di pinggir lapangan mengubah permainan menjadi permusuhan. Kekalahan dan kemenangan tidak lagi dimaknai sebagai hasil pertandingan, melainkan sebagai penentu martabat kampung.

Luka akibat gesekan itu tidak pernah benar-benar sembuh. Ia terus diwariskan. Anak-anak muda yang mungkin tak tahu persis kejadian 15 tahun lalu, tumbuh dengan doktrin bahwa "mereka" adalah musuh.

Baca Juga: Menteri LHK Sentil Pemprov Jabar, Sebut Proyek Sampah Lulut Nambo Monumen Mangkrak 1 Dekade

"Kalau cerita awalnya Pertandingan olahraga kemudian menimbulkan gesekan, ternyata itu berlangsung sampai 15 tahun, cukup mendarah daging," jelas Kapolres.

Luka yang terpendam itu akhirnya meledak di hari yang ironis, saat seluruh bangsa merayakan persatuan. Pada 17 Agustus 2025, sekelompok warga Parungsapi yang melintasi Kampung Peteuy menjadi sasaran intimidasi.

Ejekan dan lemparan batu menjadi sulut yang membakar emosi yang sudah lama terkompresi.

Kabar penghinaan ini menyebar seperti api di Kampung Parungsapi. Rasa solidaritas yang salah kaprah dan harga diri yang terluka memicu mobilisasi massa.

Serangan balasan pun dilancarkan, mengubah jalanan kampung menjadi arena pertempuran.

Di tengah kekacauan itulah, WS menjadi korban. Dendam 15 tahun itu akhirnya menuntut tumbal nyawa, dituntaskan dengan brutal melalui sebilah parang.

Load More