SuaraJabar.id - Wajah berkeringat, Wanda sibuk menggoreng banyak potongan ayam di dua wajan sekaligus, ayam itu dimasak serondeng khas Sunda. Lalu Fiona, memasak sambal terasi sebagai pasangan ayam serondeng.
Mereka tampak sibuk memasak di teras rumah kontrakan di pinggiran Pasar Caringin, Kota Bandung.
Matahari tepat berada di atas kepala. Hawa panas di tambah api kompor makin menambah gerah di rumah itu.
Habis menggoreng, Wanda dengan cekatan menyiapkan beras lalu mencucinya, dibantu Fiona membersihkan dandang untuk menanak nasi.
Baca Juga:Heboh Warga Antre di Pengadilan Agama Soreang Mau Ajukan Cerai
Sementara Arin membantu Wanda mengurus ayam. Lalu Ida, sibuk mengiris bawang untuk bahan menumis bihun.
Wanda, Fiona, dan Arin adalah transpuan berusia 40-an tahun. Selain mereka ada juga Riri dan Luvhi.
Mereka memasak bukan untuk dimakan sendiri, namun untuk dibagikan ke transpuan yang terdampak pandemi corona.
Dapur umum di kontrakan Fiona ini digagas oleh LBH Bandung dan Srikandi Pasundan. Fiona adalah wakil ketua Srikandi Priangan kota Bandung.
Aktivitas memasak di dapur umum itu dimulai sejak subuh. Usai salat subuh Fiona mulai sibuk berbelanja bahan-bahan masakan.
Baca Juga:Viral Antrean Panjang Orang Daftar Cerai di Pengadilan Agama Bandung
Fiona bertugas mengatur dana dan belanjaan agar bisa cukup untuk kebutuhan dapur umum.
Sejak pandemi, dapur umum mulai rutin digelar dua pekan sekali. Namun sempat terhenti selama empat pekan karena keterbatasan anggaran. Maklum saja, duit untuk beli bahan baku didapat dari donatur dan sumbangan dari berbagai pihak.
Menu masakan di dapur umum kali ini sederhana namun tampak tetap nikmat.
Ayam serondeng ala rumah makan Sunda, sambal terasi, bihun goreng dan nasi putih. Kali ini, sebanyak 50 porsi akan dibagikan kepada para transpuan yang kesulitan uang untuk membeli makan.
“Hari ini 50 kotak saja, tadinya mau lebih, ketika lihat dana untuk belanja tidak cukup, seadanya saja dulu, dicukup-cukupin,” ungkap Fiona akhir pekan lalu, Sabtu (8/8/2020).
Waktu menunjukkan pukul 14.20 WIB, semua aktivitas masak-memasak selesai. Riri, Luvhi, Wanda, Fiona dan Arin, bersama-sama mengemas masakan mereka dengan rapih di dalam kotak nasi.
Makanan itu siap dibagikan ke transpuan lainnya. Untuk kali ini, 3 tempat yang akan didatangi, di antaranya kawasan ruko Pasar Induk Caringin, daerah Bojongloa Kaler dan Babakan Ciparay.
Sampai di lokasi, tampak kecerian terpancar dari para transpuan ketika menerima kotak makanan. Tentu ini sangat berarti bagi beberapa dari mereka yang sejak pagi belum mengisi perut hingga hari sudah menjelang sore.
Meski gerakan ini kecil, harapannya bisa sedikit membantu dan memberi semangat, para transpuan lain di tengah keterbatasan ekonomi dan minimnya perhatian Pemerintah.
“Meski sedikit harapannya bisa bantu teman-teman yang lain untuk makan,” ungkap Fiona.
Hidup susah di masa pendemi
Jarum jam menunjuk ke angka sepuluh, Arin duduk seorang diri siang itu. Tatapan kosong, Arin merenung karena resah dan gelisah.
Arin sudah 7 bulan tidak bayar kontrakan.
“Lagi nganggur, tidak punya uang," Arin ketika ditemui SuaraJabar.id, Minggu (26/7/2020) lalu.
Arin tinggal di rumah sewa berukuran kira-kira 3 x 3 meter. Rumahnya berlokasi di pemukiman padat penduduk di kawasan Sindangasih, Kota Kembang.
Sejak virus corona merebak di dunia Akhir 2019 lalu, Arin sudah terdampak. Terlebih ketika COVID-19 masuk Indonesia Maret 2020.
Kini, Arin menganggur dan tak ada yang bisa dilakukan. Terhitung sejak Januari, ia tidak bekerja. Selama itu pula belum memiliki penghasilan.
Untuk bertahan Arin hidup dari utang ke utang. Dia meminjam uang dari keluarga, teman sampai rentenir.
"Kemarin 3 kali pinjam ke temen Rp 300 ribu, dari orangtua sebesar Rp 450 ribu dan ke rentenir Rp 500 ribu,” papar dia.
Sebelum menganggur, Arin adalah sukarelawan kegiatan sosial. Salah satunya di Komisi Penanggulangan Aids di Bandung.
Dia juga pernah menjadi staf penjangkau lapangan dari Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Srikandi Pasundan untuk beberapa waktu.
Serba bisa, mantan pengamen jalanan itu juga ahli merias pengantin. Sesekali, ia membantu teman merias pengantin jika sedang ada panggilan, upah yang didapat sekali merias pengantin Rp 150 ribu. Arin juga bisa memijat dengan tarif Rp 100 ribu, namun kondisi semakin sulit kala pandemi.
Jangankan untuk membayar kontrakan, untuk sekadar makan dan membeli kopi saja Arin masih kebingungan.
“Sudah 7 bulan tidak ada kerja, apalagi ditambah corona, makin tidak ada kerjaan,” ujarnya.
Bantuan dari pemerintah sama sekali tidak didapat, ia hanya mengandalkan bantuan dari komunitas transpaun dan komunitas lain yang membantu.
“Bantuan dari pemerintah tidak ada, tidak berharap juga dapat, jadi paling bantuan dari teman saja,” ungkapnya.
Beberapa puluh meter dari tempat Arin, transpuan lainnya Dara bernasib sama. Di usianya yang sudah 50 tahun, Dara tinggal berdua bersama ibunya yang sudah lanjut usia. Di kontrakan yang sempit, ia membuka usaha salon.
Pandemi corona juga memukul usaha jasa riasnya. Tak ada pelanggan, lembaran uang pun tak terlihat
Akhirnya Dara kembali mengamen untuk bertahan hidup.
“Mau tidak mau harus turun ke jalan, setidaknya bisa untuk beli makan,” ujarnya.
Dara bercerita sudah sejak pekan ketiga Maret 2020, setidaknya tiga konsumen yang harusnya menggunakan jasa rias pengantinnya, tetapi dibatalkan.
Tujuh bulan berselang sampai saat ini, tidak ada pelanggan.
“Padahal kemarin lumayan uangnya bisa dipakai biaya keseharian,” ungkapnya.
Sementara itu, jauh di pinggiran Timur Bandung, hal serupa dialami oleh transpuan lainnya, Joya (35). Pandemi juga berimbas pada usaha salon dan rias pengantinnya. Ia berusaha keluar dari zona nyaman. Terpaksa harus membuka usaha lain untuk bisa bertahan hidup dan menggaji dua karyawannya.
Siang itu, SuaraJabar.id berkesempatan mengikuti aktivitas
untuk berbelanja di Pasar Gedebage, yang berada di pinggiran Kota Bandung. Matahari cukup terik, asap knalpot kendaraan berpadu dengan debu jalanan, membuat gerah.
Tentu saja hal itu tak sedikitpun mengurungkan semangatnya berbelanja.
Kalau hanya debu jalanan, dan bisingnya kendaraan hingga sengatan bau dari tumpukan sampah jalan tentu saja bukan apa-apa baginya. Transpuan karib dengan kerasnya kehidupan. Mulai dari kekerasan fisik hingga psikis, papar Joya, layaknya makanan sehari-hari transpuan.
Sudah terhitung 3 pekan, ia mencoba berjualan minuman kekinian, Boba dan Thai Tea. Dia berjualan dengan modal Rp 7 juta untuk membeli bahan minuman, membuat spanduk dan membeli gerobak.
Meski penjualan tidak seberapa, tapi Joya bersyukur masih bisa bertahan dengan hasil penjualan itu.
“Sekarang benar-benar sulit, kerjaan tidak ada, yang nyalon juga tidak ada, pada takut karena korona,” ungkapnya ketika dikunjungi di kontrakannya di pinggiran Bandung Timur (27/7/2020).
Sebelumnya, ia sempat menjual jus buah-buahan, namun hal itu tidak berhasil, di tengah pandemi dagangan selalu sepi, buah-buahannya selalu busuk. Akhirnya, setelah mendapat saran dari seorang teman untuk mengganti ke minuman lainnya.
“Jualan Thai Tea ini baru 3 minggu, kemarin sempat jual jus buah tapi sepi dan banyak yang busuk buahnya, sayang,” tutur Joya.
Sudah jatuh ketimpa tangga
Hidup susah di masa pandemi virus corona tak melulu soal tak punya duit atau susah makan. Transpuan juga tetap menghadapi diskriminasi.
Awal Mei 2020 lalu, masyarakat dibuat geram akibat aksi tidak manusiawi yang dilakoni Youtuber Ferdian Paleka bersama temannya. Ferdian Paleka melakukan prank sembako sampah.
Dia mengerjai transpuan dengan memberi sembako sampah kepada empat transpuan di Kota Bandung. Kasus tersebut sempat diproses oleh pihak Kepolisian. Tapi Ferdian Paleka dibebaskan karena transpuan korban sembako sampah itu mencabut laporannya ke Kepolisian Bandung.
Aksi tidak terpuji itu menggores hati para transpuan dan masyarakat yang peduli. Apalagi aksi itu dilakukan ditengah pandemi virus corona, ketika para transpuan sedang bertahan hidup.
“Kasus kemarin benar-benar melukai kami. Benar-benar kami sedang kesulitan, tapi ternyata malah diperlakukan seperti itu,” ungkap Luvhi Pamungkas, Ketua Srikandi Pasunda Jawa Barat, ketika ditemui di kediamannya yang berlokasi di Sarijadi, Kota Bandung (28/7).
Saat kasus bergulir hingga hari ini, sambung Luvhi, pemerintah provinsi maupun kota belum memberikan bantuan apapun, baik untuk menyambung hidup maupun perlindungan terhadap transpuan.
“Ucapan kecaman hanya disampaikan di media saja. Setelah itu tidak ada tindakan sama sekali untuk membantu, dari Pak Gubernur ataupun Pak Wali Kota. Tidak ada sama sekali,” ungkap Luvhi.
Beberapa waktu seusai kejadian prank, Luvhi bermaksud mengajukan bantuan kepada Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Jawa Barat. Niat tersebut disampaikan dengan alasan ketika melintas di depan dinas dia menyaksikan tengah ada pembagian sembako kepada masyarakat.
“Jadi aku pikir dia (dinsos) bisa berbagi sembako ke orang yang lewat, kenapa ke kami yang sengaja minta, tidak dikasih?” kata Luvhi berusaha memutar otak.
Akhirnya ia memberanikan diri menghubungi Dinsos provinsi, menanyakan perihal bantuan sosial untuk para transpuan.
“Kebetulan aku waktu itu kontak kepala seksinya yang lama. Tanya ‘Pak ada bantuan atau tidak ya untuk teman-teman Srikandi Pasundan?’ dijawab ‘oh Bapak sudah tidak di Dinsos lagi, coba kontak yang baru’,” tuturnya.
Ketika menghubungi kepala seksi yang baru, ia justru diminta untuk membuat proposal permohonan bantuan, padahal warga lainnya yang mendapat paket sembako tak perlu repot menenteng proposal. Luvhi tidak menyangka, bahkan saat kondisi genting seperti ini Dinsos provinsi masih sempat menyuruh membuat proposal. Jawaban itu membuatnya geleng kepala.
Sejak itu, Luvhi tidak lagi berharap kepada pemerintah. Ia menjelaskan, beberapa transpuan juga telah mengajukan permohonan melalui laman Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat (Pikobar), namun sampai saat ini tidak mendapat bantuan. Ia sangat kecewa komunitasnya hanya dimanfaatkan oleh mereka.
Menurutnya komunitasnya adalah bagian dari lembaga kesejahteran sosial (LKS) Dinsos, sehingga bukan merupakan anggota dampingan dan mereka memiliki surat legalitas dari LKS.
“Saat kita butuh, sangat sulit untuk dibantu. Beda lagi ketika Dinsos sedang membutuhkan kita, untuk melancarkan program dari mereka, kita dikejar-kejar,” tambahnya.
Bercermin dari diskriminasi yang menimpa komunitas transpuan, pihaknya membentuk solidaritas. Komunitasnya membuat kegiatan bertajuk Srikandi Peduli untuk mengumpulkan donasi agar dapat membatu transpuan yang terdampak pandemi.
“Kita berjejaring, dengan komunitas lain, seperti dengan Rumah Cemara, Panggung Minoritas, dan juga dengan LBH Bandung. Gotong royong, untuk membantu transpuan lainnya,”ungkap Luvhi.
Walaupun tidak seberapa, paling tidak solidaritas ini diharapkan bisa menguatkan sesama transpuan di Jawa Barat. Selain itu, pihaknya juga mendapat bantuan dari LBH Bandung untuk membangun dapur umum.
Ketika dikonfirmasi mengenai hal tersebut Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Dodo Suhendar membenarkan bahwa prosedur pengajuan bantuan sosial bagi komunitas atau organisasi terdampak Covid-19, di luar data penerima bantuan atau non-Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), harus melalui proposal. Dalam proposal harus melampirkan data organisasi dan jumlah penerima manfaat.
“Kalau di luar data non-DTKS dan DTKS yang meminta bantuan harus membuat proposal terlebih dahulu, terkait permintaan bantuan tersebut, untuk komunitas apa,” ungkapnya kepada SuaraJabar.id (11/8/2020).
Dijelaskan bahwa masyarakat atau komunitas yang ingin mengajukan bantuan bisa langsung datang ke Dinsos yang ada di kabupaten atau kota masing-masing. Dinsos membuka layanan terkait informasi mengenai prosedurnya, atau masyarakat dapat mengajukan melalui Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat (Pikobar).
Disampaikan bahwa proposal yang diajukan tidak perlu berupa pengajuan bantuan keuangan. Tapi berisi pemberitahuan bahwa organisasi ini terdampak Covid-19 yang berisi nama organisasi, pengurus dan alamat.
“Dan seharusnya diajukan sejak awal, mungkin karena kurangnya informasi, tapi kalau mau diajukan sekarang coba saja,” tambahnya.
Terkait lamanya waktu proses bantuan, Dodo mengungkapkan hal itu tergantung pada kelengkapan data. Jika datanya telah sesuai, maka pihaknya akan memproses pengajuan bantuan tersebut. Hal itu sebagai persyaratan administrasi.
Kebebasan Semakin Sulit Diekspresikan
Pascakasus prank sembako berisi sampah, bagi Luvhi, perlakukan diskriminatif di masyarakat atau pemerintahan Jawa Barat terhadap transpuan tidak ada perubahan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak bersimpati apalagi bersolidaritas atas kondisi transpuan yang kian rentan selama pandemi. Diskriminasi masih ada hingga komentar yang menyebutkan bahwa mereka memang ingin diberikan sampah.
“Banyak yang menyudutkan kami ketika pencabutan kasus,” tambahnya.
Ia bercerita, bagaimana kondisi transpuan awal tahun 2005-an hingga 2010-an masih cukup mudah mengekspresikan diri, meski stigma negatif dan sentimen di masyarakat tidak bisa dihindarkan. Belakangan, sentimen makin kuat terasa dari berbagai kelompok di masyarakat, terutama dari kelompok agama.
Bahkan, kecaman dan kekerasan sering dirasakan dari kelompok organisasi masyarakat (ormas) Islam. Luvhi menjelaskan salah satu petugas lapangan Srikandi Pasundan pernah dilempar, dipukul dan ditelanjangi oleh salah satu ormas Islam ketika melalukan survei ke lapangan untuk salah satu program dari organisasinya.
Saat ini, kegiatan-kegiatan yang bentuknya mengekspresikan diri untuk meningkatkan kualitas dan kreativitas para transpuan semakin sulit untuk diekspos ke publik. Olehnya kegiatan yang berkaitan dengan hal tersebut dilakukan secara diam-diam untuk menghindari sentimen dan penolakan dari masyarakat, yang justru merugikan para transpuan.
“Dulu tidak terlalu ekstrim seperti sekarang. Masih bisa melakukan aktivitas, misalkan ada perlombaan bola voli, terus ada pemilihan duta HIV. Kalau sekarang tidak bisa sama sekali, justru makin sulit (untuk berekspresi),” katanya.
Diskriminasi pada sektor formal juga dirasakan oleh Luvhi dan komunitasnya. Ia bahkan kesulitan mengakses pekerjaan formal yang menjadi cita-citanya dahulu, yaitu bekerja di sektor perbankan. Karena penampilannya ia ditolak dan sempat mendapat perundungan.
Menurut Luvhi Indonesia belum bisa menerima teman-teman transpuan yang menampilkan ekspresi gender sebebas-bebasnya. Karena hal itu akan memicu pemberitaan-pemberitaan negatif, berbeda saat mereka melakukan hal yang positif.
“Itu muncul beritanya paling kencang. Tapi di saat kita melakukan yang positif ya dianggap biasa,” protesnya.
Di awal Srikandi Pasundan, Luvhi mengisahkan, hal paling mendesak yakni kebutuhan para transpuan di Kota Bandung yang tidak terpenuhi, karena kuatnya stigma negatif serta diskriminasi. Bentuk paling sederhana dari diskriminasi, sambung Luvhi, ketika transpuan mengakses layanan kesehatan, misalnya, seringkali transpuan dipanggil dengan sebutan laki-laki.
Ini yang membuat kalangan transpuan sangat enggan mengurus administrasi dan mengakses hak-haknya karena perlakuan yang melecehkan dari para petugas. Pihaknya ingin masyarakat dan pemerintah menghargai keberadaan mereka. Seperti memanggil mereka dengan penyebutan yang benar. Mungkin bagi kebanyakan orang sepele, tapi menurut Luvhi ini adalah yang sangat berarti.
“Masa sudah dandan cantik-cantik masih dipanggilnya Asep atau Ujang. Nah, ini salah satu yang harus kita advokasi,” ungkapnya.
Diskriminasi juga masih terus dirasakan Joya. Meski di lingkungan baru cukup menerimanya, namun sentimen dari masyarakat lain masih dirasakannya. Ketika belanja di pasar, misalnya, perlakuan sinis masih diterima. Joya kecewa kepada masyarakat yang masih tidak menghargai dirinya.
Sentimen lain yang ia dapat ketika masih berada di lingkungan lama tempat tinggalnya yang terletak tidak jauh dengan Universitas Islam Negeri Bandung. Beberapa tetangga sering menghasut masyarakat lain untuk tidak berbelanja padanya. Ada ajakan untuk tidak membeli dagangannya karena ia seorang transpuan.
“Jangan beli di waria, mereka itu kotor, jijik. Mereka hasut seperti itu,” kenang Joya.
Joya dan Luvhi berharap masyarakat dan pemerintah bisa membuka mata, untuk lebih memperhatikan transpuan sebagai sesama warga negara. Jika masyarakat dan pemerintah menerima dan memberi kesempatan secara adil, menurut keduanya, transpuan juga bisa bekerja profesional dan kreatif.
Kini, Indonesia telah memasuki usia 75 tahun, di usia kemerdekaan yang sudah semakin matang ini, nampaknya kemerdekaan dan kebesaan belum sepenuhnya dirasakan oleh sebagian masyarakat. Transpuan menjadi contoh nyata, bagaimana kebebasan dan keadilan itu belum sepenuhnya dirasakan di Indonesia.
Kontributor : Emi La Palau