Pelajar Terpaksa Belajar di Pos Ronda karena Tak Mampu Beli Seragam

"Saat ini siswa itu sudah dikeluarkan dan sekolah di pos ronda. Setiap hari meneteskan air mata sambil melihat teman-temannya sekolah," ungkapnya.

Ari Syahril Ramadhan
Selasa, 16 November 2021 | 21:11 WIB
Pelajar Terpaksa Belajar di Pos Ronda karena Tak Mampu Beli Seragam
ILUSTRASII anak putus sekolah. Di Sukabumi, ada anak yang terpaksa putus sekolah karena tak mampu membeli seragam sekolah. [HR Online]

SuaraJabar.id - Seorang pelajar di Sukabumi dikabarkan diminta untuk mengundurkan diri secara sukarela oleh sekolah tempat ia menutup ilmu. Alasannya, pelajar itu tidak mampu membeli seragam.

Dipaksa putus sekolah, anak tersebut dikabarkan bersedih dan terus menangis. Tak punya sekolah, anak itu kini mengalihkan kegiatan belajarnya ke pos ronda.

Informasi ini terungkap saat Gerakan Ormas Islam Bersatu atau GOIB mendatangi Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah V Provinsi Jawa Barat di Jalan Salabintana, Kabupaten Sukabumi, Senin (16/11/2021). Mereka menyoroti Pungutan yang dilakukan Sekolah berbalut narasi sumbangan.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat atau DPP GOIB, Aprizal Adhi Permana mengatakan, penarikan uang yang dilakukan pihak Sekolah terhadap siswa dengan dalih sebagai Dana Sumbangan Pendidikan atau DSP sangat memberatkan orang tua/wali. Bahkan aktivitas itu menurutnya diduga mengarah ke Pungutan liar.

Baca Juga:Heboh Penampakan Sosok Berbulu Hitam di Atas Pohon di Sukabumi

"Terdapat Pungutan DSP yang dilakukan, apa pun jenisnya. Alibi mereka kaitannnya itu bukan pungutan, tetapi sumbangan. Namun kita meyakini itu pungutan," kata Aprizal kepada awak media.

Massa GOIB yang beraudiensi dengan perwakilan Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah V Provinsi Jawa Barat dan sejumlah Sekolah menengah atas atau SMA sederajat membeberkan dampak buruk Pungutan tersebut. Selain soal DSP, mereka mencontohkan ada siswa yang terpaksa putus sekolah karena tidak mampu membeli seragam.

Aprizal mengatakan, siswa yang belum membeli seragam itu akhirnya selama berhari-hari tidak sekolah. Ironinya, pihak Sekolah mendatangi siswa tersebut sambil membawa surat pernyataan pengunduran diri untuk ditandatangani.

"Saat ini siswa itu sudah dikeluarkan dan sekolah di pos ronda. Setiap hari meneteskan air mata sambil melihat teman-temannya sekolah," ungkapnya.

Sedangkan dampak DSP, Aprizal mengatakan ada salah satu siswa yang menurutnya secara akademik memiliki prestasi yang baik, namun tidak diberi name tag atau papan nama saat akan melaksanakan praktik kerja lapangan atau PKL dan ujian karena tidak bisa membayar DSP.

Baca Juga:Jogja Police Watch Desak Polres Bantul Segera Tangkap DPO yang Terlibat Tawuran Pelajar

Aprizal belum membuka siswa Sekolah mana yang dimaksud, namun ia mengaku akan melaporkan dugaan ini ke Kepolisian Resor Sukabumi Kota.

Secara wilayah hukum, Polres Sukabumi Kota mencakup delapan kecamatan di Kabupaten Sukabumi: Cisaat, Kadudampit, Gunungguruh, Sukabumi, Sukaraja, Sukalarang, Kebonpedes, dan Cireunghas. Kemudian tujuh kecamatan di Kota Sukabumi: Cikole, Gunungpuyuh, Lembursitu, Citamiang, Cibeureum, Warudoyong, dan Baros.

"Tadi kita juga langsung datang ke Polres (Polres Sukabumi Kota) untuk mengadukan, yang insyaAllah di minggu-minggu ini laporan sudah diterbitkan," katanya.

Dikonfirmasi, Kepala Seksi Pelayanan Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah V Provinsi Jawa Barat Asep Burdah menuturkan, penarikan DSP disepakati orang tua/wali murid dalam musyawarah bersama pihak sekolah.

Ia pun menegaskan, redaksi Pungutan memang sifatnya mengikat. Sementara sumbangan tidak mengikat.

"Penjelasan beberapa kepala sekolah, kalau sumbangan itu boleh. Artinya, dalam satu angkatan itu membuat program acara dan biasanya timbul angka dari DSP sendiri atas musyawarah bersama orang tua murid. Terus terkait ada siswa yang dikeluarkan kami belum tahu secara persis di mana," ungkap Asep.

Kemendikbudristek pun menjelaskan di situs resminya seputar Bantuan Pendidikan. Berdasarkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, yang dimaksud bantuan pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya, dengan syarat yang disepakati para pihak.

Sementara yang dimaksud dengan Sumbangan Pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orang tua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan.

Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah ini pun mengatur batas-batas penggalangan dana yang boleh dilakukan Komite Sekolah.

Penggalangan dana tersebut ditujukkan untuk mendukung peningkatan mutu layanan pendidikan di Sekolah dengan azas gotong royong.

Dalam Permendikbud ini, Komite Sekolah diperbolehkan melakukan penggalangan dana berupa Sumbangan Pendidikan, Bantuan Pendidikan, dan bukan Pungutan.

Dijelaskan di aturan itu, Pungutan Pendidikan adalah penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini