SuaraJabar.id - Jalan Pacinan sebelum tahun 1898 merupakan pemukiman dan dan pusat niaga warga Tionghoa di Kota Cimahi. Bahkan dulunya kawasan Pasar Atas yang dulunya bernama Pasar Luhur ada Kampung China atau Chinesse Wijk.
Meski kekinian kawasan tersebut sudah jauh berubah, namun jejak-jejak niaga warga Tionghoa masih tersisa di kawasan tersebut. Seperti di Jalan Pacinan yang terdapat sebuah tempat fotokopi dan sebuah sekolah.
Kemudian di Jalan Djulaeha Karmita yang masih berdiri kokoh sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat niaga, dan tetap dipertahanakan hingga kini untuk aktivitas serupa yakni menjadi tempat usaha.
Ciri khas bangunan berarsiketur Tionghoa yang dipadukan dengan gaya kebarat-baratan itu hingga kini masih dipertahankan. Meski salah satu bagian ornamennya roboh tertiup angin kencang
Baca Juga:Rayakan Imlek, Vihara Amurwa Bhumi Graha Bandar Lampung Bagi 3 Ribu Angpau
Bangunan bersejarah tersebut kini masih dipakai sebagai tempat niaga. Dari mulai jasa fotokopi, warung, hingga aneka makanan dan bergbagai usaha lainnya. Ada yang menyewa, ada pula yang yang memang sudah milik pribadi sejak zaman dulu.
![Komunitas Tionghoa Turut Memeriahkan Pawai HUT ke 10 RI Tahun 1955 di Cimahi [Dok:Komunitas Tjimahi Heritage]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/02/12/76442-warga-tionghoa-di-cimahi.jpg)
Menurut pegiat sejarah, Machmud Mubarok, asal muasal etnis Tionghoa di Kota Cimahi diperkirakan sudah ada sebelum Belanda membangun Garnizun tahun 1898. Meskipun belum diketahui kapan mereka masuk ke Cimahi.
"Tahun pastinya kedatangan warga Tionghoa ke Cimahi saya belum temukan. Tapi saat Belanda membangun Garnizun, mereka sudah ada," terang Machmud saat dihubungi Suara.com baru-baru ini.
Berdasarkan arsip Belanda tahun 1930 yang didapat Machmud, jumlah warga Tionghoa kala itu hanya 2,3 persen saja dari total penduduk Cimahi saat itu yang mencapai 59.993 jiwa. Tujuan kebanyakan mereka datiang ke Cimahi adalah untuk berniaga.
"Ya, kebanyakan berdagang. Ada yang sampai menikah dengan orang pribumi, tapi tidak banyak,” ujar Machmud.
Biasanya di setiap daerah yang dihuni oleh Tionghoa memiliki pemimpin, yang oleh Belanda diberi pangkat Kapten atau Letnan sehingga sering disebut Kapten atau Letnan China. Namun di Cimahi, Machmud belum menemukan itu.
Menurutnya, bisa saja komunitas China di Cimahi menghinduk ke Bandung, lantaran di Cimahi memang sejak dulu tidak ada Kelenteng atau Vihara. Sehingga orang China di Cimahi yang ingin ke Vihara harus ke Kota Bandung.
![Kawasan Terminal Pasar Atas Baru di Kota Cimahi yang Bakal Digunakan untuk Tempat Wisata Kuliner. [Suara.com/ Ferry Bangkit Rizki]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/09/24/86851-kawasan-terminal-pasar-atas-baru-di-kota-cimahi-yang-bakal-digunakan-untuk-tempat-wisata-kuliner.jpg)
Namun jejak sejarah mencatat, dulunya di Cimahi ada tempat yang dijadikan sarana ibadah untuk umat Tionghoa. Namanya Chung Hwa hung Hwi yang bangunannya kini menjadi Sekolah Andreas di Jalan Pacinan atau Jalan Babakan.
Kemudian, masih ada jejak peninggalan rakyat Tionghoa lainnya di Cimahi hingga kini. Seperti di Jalan Djulaeha Karmita atau Jalan Pasar Atas. Di sana terdapat bangunan-bangunan bercirikan arsitektur China yang dipadukan dengan barat.
"Di samping Sekolah Andreas, ada satu rumah orang China yang masih orisinil, mempertahankan gaya arstitektur tahun 1900-an dengan pola rumah seperti orang Belanda," terang Machmud.
Bahkan, kata dia, pemilik televisi pertama di Cimahi ternyata adalah seorang warga Tionghoa bernama Kim Kim. Televisi itu disimpan Kim Kim di toko miliknya di Jalan Gatot Subroto atau Gatsu, yang sering didatangi warga Kalidam dan Gatsu hanya sekedar untuk menonton. Bahkan Toko Kim Kim atau Toko Soerabaria disebut merupakan toko swalayan pertama di Cimahi.
- 1
- 2