-
Proyek Whoosh bermasalah karena gaya kepemimpinan mantan Presiden Jokowi yang mengutamakan kecepatan, mengabaikan perencanaan matang, kajian teknis, dan tata kelola yang disiplin.
-
Pendekatan cepat pada Whoosh mengakibatkan keterlambatan empat tahun, pembengkakan biaya hampir Rp20 triliun, dan indikasi kerugian besar akibat pengabaian saran teknokratik.
-
Pemerintah baru didesak mereformasi tata kelola BUMN secara menyeluruh. Kasus Whoosh harus jadi momentum untuk membersihkan BUMN dari beban proyek berorientasi target politik.
“Masalah seperti ini tidak hanya terjadi di PT KAI. Banyak BUMN lain mengalami tekanan untuk menjalankan proyek besar tanpa perhitungan bisnis yang sehat. Pola ini tidak boleh terjadi lagi di masa yang akan datang,” katanya.
Nandang berharap pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dapat menjadikan kasus Whoosh sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola BUMN. Ia menekankan perlunya reformasi menyeluruh agar perusahaan-perusahaan negara tidak terus merugi.
“Presiden Prabowo harus berani membenahi warisan masalah yang ditinggalkan era sebelumnya. Sudah saatnya BUMN dibersihkan dari beban proyek yang tidak sehat agar kembali fokus pada efisiensi dan pelayanan publik. Jika ini dilakukan, BUMN Indonesia bisa sehat kembali dan benar-benar menjadi motor ekonomi nasional,” tutur Nandang.
Ia menambahkan, keberhasilan sebuah pemerintahan tidak diukur dari banyaknya proyek mercusuar, tetapi dari kemampuan memastikan setiap proyek berjalan efisien, transparan, dan memberi manfaat bagi rakyat.
Baca Juga:Dugaan Korupsi Anggaran 2025, Wakil Wali Kota Bandung Dicegah ke Luar Negeri?
“Legacy terbaik seorang pemimpin bukanlah jumlah bangunan atau panjang rel yang ditinggalkan, tetapi sistem yang sehat dan berkelanjutan untuk generasi berikutnya,” pungkasnya.