TAJI Tantang Kapolri Listyo Sigit Tuntaskan Kasus Kekerasan pada Jurnalis

TAJI mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan polisi melindungi jurnalis yang sedang bertugas, bukan malah menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

Ari Syahril Ramadhan
Kamis, 28 Januari 2021 | 11:32 WIB
TAJI Tantang Kapolri Listyo Sigit Tuntaskan Kasus Kekerasan pada Jurnalis
ILUSTRASI. Puluhan Jurnalis Cirebon raya saat menggelar aksi unjuk rasa penolakan tindak kekerasan terhadap jurnalis. Saat ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit didesak untuk menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis. [Suara.com/Abdul Rohman]

SuaraJabar.id - Tim Advokasi Jurnalis Independen (TAJI) mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menuntaskan proses hukum kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, terutama dengan terduga anggota polisi.

Advokat TAJI, Hardiansyah, SH., MH mengatakan, masih banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang proses hukumnya mandek.

Di Kota Bandung misalnya, dua jurnalis menjadi korban kekerasan oleh orang yang diduga sebagai anggota polisi saat meliput aksi May Day 2019 lalu.

Korban kekerasan itu adalah fotografer Tempo Prima Mulia dan jurnalis freelance Iqbal Kusumadireza (Reza).

Saat itu, Reza dan Prima berkeliling sekitar Gedung Sate, Kota Bandung  untuk memantau kondisi pergerakan massa buruh yang akan berkumpul di Gedung Sate.

Saat tiba di Jalan Singaperbangsa, sekitar Dipatiukur, Prima dan Reza melihat ada keributan antara polisi dengan massa yang didominasi berbaju hitam-hitam.

Seorang buruh dari Aliansi Buruh Karawang melakukan aksi vandalisme saat mengikuti aksi Hari Buruh Internasional (May Day) di klawasan By Pass, Karawang, Jawa Barat, Rabu (1/5/2019). [Antara/M Ibnu Chazar]
ILUSTRASI-Seorang buruh dari Aliansi Buruh Karawang melakukan aksi vandalisme saat mengikuti aksi Hari Buruh Internasional (May Day) di klawasan By Pass, Karawang, Jawa Barat, Rabu (1/5/2019). [Antara/M Ibnu Chazar]

Reza dan Prima mengaku melihat massa berbaju hitam tersebut dipukuli oleh polisi. Melihat kejadian tersebut, keduanya langsung membidikan kamera ke arah kejadian tersebut.

Setelah pindah lokasi untuk mengabadikan gambar yang lain, Reza tiba-tiba dipiting oleh seorang anggota polisi. Menurut Reza polisi tersebut dari satuan Tim Prabu Polrestabes Bandung.

Hardi mengatakan, saat itu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandung, LBH Bandung dan sejumlah advokat yang tergabung dalam TAJI sudah melaporkan kasus ini ke Propam Polrestabes Bandung.

"Namun hingga saat ini belum ada kejelasan megenai kelanjutan laporan tersebut," ujar Hardi ketika dihubugi Suara.com, Kamis (28/1/2021).

Ia menambahkan, jurnalis dalam tugasnya dilindungi oleh Undang-undang 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Seharusnya kata, polisi sebagai aparat penegak hukum melindungi jurnalis yang sedang melakukan tugasnya. Bukannya malah melakukan tindak kekerasan pada jurnalis yang sedang bertugas.

Selain TAJI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyuarakan hal serupa. AJI menulis surat terbuka untuk Jenderal Listyo Sigit Prabowo di hari pelantikannya sebagai Kapolri, Rabu (27/1/2021).

Berdasarkan data Divisi Advokasi AJI Indonesia, tahun 2020 saja tercatat ada 84 kasus kekerasan. AJI mengklaim, bukan hanya lebih banyak dari tahun 2019 yang mencatat 53 kasus, tapi paling tinggi sejak AJI memonitor kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Sebagian besar kasusnya berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17 kasus), perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (15 kasus), dan ancaman atau teror 8 kasus.

Dalam surat terbuka itu, AJI Indonesia menulis menyorot kasus kekerasan yang terjadi di Jakarta pada 2020 lalu di mana ada enam jurnalis yang juga ditahan di Polda Metro Jaya bersama para pengunjuk rasa penolak Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu, meski dua hari kemudian dibebaskan.

Jurnalis Tempo sekaligus calon Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan. [Suara.com/Adhitya Himawan]
 Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan. [Suara.com/Adhitya Himawan]

Ironisnya, sebagian besar pelaku dari semua peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis ini adalah polisi (58 kasus), institusi yang seharusnya menegakkan hukum.

AJI Indonesia menilai, proses hukum kasus kekerasan terhadap jurnalis ini, juga tak mendapat dukungan Polri. Dalam dua kasus kekerasan terhadap jurnalis di Ternate, Maluku Utara, ada pelaporan ke polisi.

Awalnya laporan disampaikan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Maluku Utara, 21 Oktober 2020. Pengaduan ditolak karena belum ada rekomendasi dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Saat wartawan datang ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus, juga ditolak dengan alasan mereka hanya menangani yang berhubungan dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

"Peristiwa di Ternate ini memperpanjang keraguan terhadap kinerja polisi dalam menangani kasus kekerasan oleh anggotanya," tulis surat terbuka itu.

AJI Indonesia kemudian meminta Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menunjukkan komitmennya untuk melindungi kebebasan pers karena itu merupakan amanat Undang Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

"Salah satu implementasi dari komitmen itu bisa ditunjukkan oleh Kapolri dengan cara memproses hukum kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk yang dilakukan oleh polisi. Komitmen ini harus ditunjukkan Polri dari tingkat pusat sampai daerah," tegas AJI Indonesia.

AJI juga meminta Polri untuk memperkuat pemahaman personel polisi soal hak asasi manusia, termasuk kebebasan pers.

"Kami menilai bahwa banyaknya polisi yang menjadi pelaku kekerasan, termasuk terhadap wartawan, menunjukkan rendahnya pemahaman aparat penegak hukum kita soal hak-hak dasar warga negara. Sedangkan hak wartawan untuk menjalankan profesinya dilindungi dan dinyatakan secara jelas dalam Undang Undang Pers," lanjutnya.

Kemudian, AJI Indonesia meminta Kapolri untuk memastikan bahwa personel Polri, dari tingkat nasional hingga daerah, menghormati komitmen yang dibuat institusinya. Termasuk Nota Kesepahaman (MoU) antara Polri dan Dewan Pers.

Menurut AJI, salah satu bentuk komitmen itu bisa ditunjukkan Polri dengan menyerahkan semua kasus sengketa pemberitaan ke mekanisme penyelesaian di Dewan Pers. Polri hanya memproses lebih lanjut jika kasusnya tidak ada hubungannya dengan karya jurnalistik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak