SuaraJabar.id - Warga memaksa sebuah pesantren untuk pindah dari lingkungan mereka karena menduga ada praktik pernikahan tanpa wali di pesantren itu.
Konflik antara warga dengan sebuah pondok pesantren itu terjadi di Kampung Maroko, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Warga menginginkan pesantren bernama Tahfidz Qur'an Alam Maroko itu dipindahkan.
Sementara pihak pondok pesantren ngotot tetap menduduki lahan yang dimiliki PT Indonesian Power (IP) Saguling. Konflik antara pihak pesantren dan warga setempat ini sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu.
Kepala Desa Mekarjaya Ipin Surjana mengungkapkan, konflik antara pondok pesantren dengan warga setempat itu bermula dari adanya komunikasi antar keduanya yang tidak selesai. Konflik kemudian membesar hingga timbul kebencian.
Baca Juga:Alasan Polisi Batal Periksa Tengku Zul di Kasus 'Islam Arogan' Abu Janda
"Warga memang inginnya pesantren bubar, karena dianggap tidak menghargai pengurus RT dan RW," sebut Ipin saat dikonfirmasi Suara.com, Rabu (3/2/2021).
Kemudian menurut laporan yang diterima Ipin, warga menduga ada kasus pernikahan yang dinilai tanpa wali. Warga merasa keberatan lantaran pernikahan itu dinilai tidak lazim dilakukan. Konflik memuncak sampai pemblokiran akses jalan menuju pesantren.
"Penutupan jalan itu dilakukan warga. Awal masalahnya karena ada pengurus pesantren yang menikahi warga (janda) tanpa wali," ujarnya.
Pada akhirnya, konflik berkepanjangan itu warga meminta pengurus pesantren segera mengosongkan pondok pesantren tersebut. Hingga kemudian datang sepucuk surat yang diterima pihak pesantren dari PT IP Saguling agar pengurus pesantren segera melakukan relokasi.
Pendiri Pondok Pesantren Tahfidz Qur'an Alam Maroko Dadang Budiman mengatakan, PT IP Saguling meminta pondok pesantren segera mengosongkan lahan dalam kurun waktu sebelum tanggal 10 Februari 2021 besok. Sebelumnya, sempat ada upaya mediasi antara warga dengan pihak pesantren.
Baca Juga:Kasus 'Islam Arogan' Abu Janda, Polisi Batal Periksa Tengku Zul Hari Ini
"Kami menganggap itu bukan mediasi dan kami yakin itu sudah disetting. Pertemuan itu digunakan untuk menekan kami. Oleh karena itu, dari awal sampai saat ini kami tidak menerima hasil pertemuan itu," ujar Dadang.