Wow! Ternyata Pemilik Televisi Pertama di Cimahi Adalah Warga Tionghoa

Sejarah kepemilikan televisi pertama di Cimahi mengemuka saat Hari Raya Imlek tahun 2021

Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 12 Februari 2021 | 13:53 WIB
Wow! Ternyata Pemilik Televisi Pertama di Cimahi Adalah Warga Tionghoa
Komunitas Tionghoa Turut Memeriahkan Pawai HUT ke 10 RI Tahun 1955 di Cimahi [Dok:Komunitas Tjimahi Heritage]

SuaraJabar.id - Sejarah kepemilikan televisi pertama di Cimahi mengemuka saat Hari Raya Imlek tahun 2021. Pemilik televisi pertama di Cimahi ternyata adalah seorang warga Tionghoa bernama Kim Kim.

Televisi itu disimpan Kim Kim di toko miliknya di Jalan Gatot Subroto atau Gatsu, yang sering didatangi warga Kalidam dan Gatsu hanya sekedar untuk menonton. Bahkan Toko Kim Kim atau Toko Soerabaria disebut merupakan toko swalayan pertama di Cimahi.

“Bahkan pemilik televisi pertama di Cimahi, sehingga warga Kalidam dan Gatsu sering nonton TV di toko Kim Kim,” kata  Machmud Mubarok, salah seorang pegiat sejarah saat dihubungi Suara.com, Jumat (12/2/2021).

Namun, keberadaan Toko Kim Kim itu mulai menghilang sejak terjadinya kerusuhan rasial di Cimahi yang diperkirakan terjadi tahun 1963-an. Ditambah lagi dengan peristiwa G30SPKI, yang membuat warga China banyak yang tersingkir.

Baca Juga:Perayaan Imlek di Aceh Lebih Sepi, Tetapi Aman dan Tertib Prokes

Salah satunya Toko Kim Kim ini, yang sampai sekarang tidak berjualan lagi. “Padahal toko Kim Kim itu dikenal sebagai toko swalayan pertama di Cimahi,” ucap Machmud.

Sejak saat itulah warga Tionghoa lebih banyak menghindar, tidak bergaul dengan orang-orang pribumi.

Namun diperkirakan setelah tahun 1970-an, orang-orang China kembali bergaul lagi dengan orang pribumi, dan sampai saat ini hidup berdampingan saling menjaga toleransi.

“Tahun 1980-an saya banyak punya teman orang China. Bergaul biasa saja, tidak ada yang beda,” ucapnya.

Sejarah Warga Tionghoa di Cimahi

Baca Juga:Resep Pindang Bandeng Khas Imlek yang Dipercaya Jadi Simbol Rezeki

Machmud membeberkan, Asal muasal rakyat Tionghoa di Kota Cimahi diperkirakan sudah ada sebelum Belanda membangun Garnizun tahun 1898.

Bahkan dulunya ada Kampung China atau Chinesse Wijk dalam Bahasa Belanda, yakni di kawasan Pasar Luhur, yang kini disebut Pasar Atas.

Ia mengatakan, kemungkinan umat Tionghoa di Cimahi lebih dulu ketimbang Garnizun yang dibangun Belanda.“Tahun pastinya kedatangan warga Tionghoa ke Cimahi saya belum temukan. Tapi saat Belanda membangun Garnizun, mereka sudah ada,” ungkap Machmud.

Berdasarkan arsip Belanda tahun 1930 yang didapat Machmud, jumlah etnis China kala itu hanya 2,3 persen saja dari total penduduk Cimahi saat itu yang mencapai 59.993 jiwa. Tujuan kebanyakan mereka datiang ke Cimahi adalah untuk berniaga.

“Ya, kebanyakan berdagang. Ada yang sampai menikah dengan orang pribumi, tapi tidak banyak,” ujar Machmud.

Biasanya di setiap daerah yang dihuni oleh Tionghoa memiliki pemimpin, yang oleh Belanda diberi pangkat Kapten atau Letnan sehingga sering disebut Kapten atau Letnan China. Namun di Cimahi, Machmud belum menemukan itu.

Menurutnya, bisa saja komunitas China di Cimahi menghinduk ke Bandung, lantaran di Cimahi memang sejak dulu tidak ada Kelenteng atau Vihara. Sehingga orang China di Cimahi yang ingin ke Vihara harus ke Kota Bandung.

Namun jejak sejarah mencatat, dulunya di Cimahi ada tempat yang dijadikan sarana ibadah untuk umat Tionghoa. Namanya Chung Hwa hung Hwi yang bangunannya kinii menjadi Sekolah Andreas di Jalan Pacinan atau Jalan Babakan.

Kemudian, masih ada jejak peninggalan rakyat Tionghoa lainnya di Cimahi hingga kini. Seperti di Jalan Djulaeha Karmita atau Jalan Pasar Atas. Di sana terdapat bangunan-bangunan bercirikan arsitektur China yang dipadukan dengan barat.

“Di samping Sekolah Andreas, ada satu rumah orang China yang masih orisinil, mempertahankan gaya arstitektur tahun 1900-an dengan pola rumah seperti orang Belanda,” terang pria yang juga Ketua Komunitas Tjimahi Heritage itu.

Kontributor: Ferry Bangkit Rizki

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini