SuaraJabar.id - Dunia perhotelan di Bandung Raya dihebohkan dengan kemunculan beberapa hotel yang dijual situs jual beli properti. Namun ternyata, beberapa hotel yang masuk di situs jual beli itu mengaku tidak pernah melego hotel mereka.
Seperti Grand Hani Hotel yang terletak di Jalan Raya Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Hotel bintang tiga tersebut dibandrol Rp 70 miliar. Kemudian Hotel Tiara Lembang yang dibandrol Rp 17 miliar dalam situs jual beli online.
Saat dikonfirmasi, General Manager Grand Hani Hotel, Samsul membantah hotelnya bakal dijual ditengah gempuran Covid-19 ini. Ia pun baru mengetahui hotelnya masuk daftar situs jual beli online.
"Saya malah baru tahu kalau hotel Grand Hani dijual. Saya dengan Pak Hani (owner hotel) malah sedang nge-push untuk memperjuangkan karena kita ada harapan untuk hidup," ujar Samsul saat dihubungi, Selasa (23/2/2021).
Baca Juga:KBB Siaga Banjir, Ini Titik Rawan Versi BPBD
Samsul tidak menampik, jika pemilik hotel sempat berencana menjual hotel. Namun rencana itu ada jauh sebelum ada pandemi Covid-19 mewabah. Namun situasi yang serba sulit sekarang ini ia diamanatkan oleh pemilih untuk mempertahankan hotel tersebut.
Samsul mengungkapkan, kondisi Grand Hani Hotel tidak jauh beda dengan hotel yang lain. Jangankan untuk meraup cuan lebih, bisa bertahan saja sudah untung. Malam pergantian tahun 2020-2021 seharusnya menjadi angin segar bagi para pengusaha hotel, namun kenyatannya malah sebaliknya
"Dari jumlah kamar sebanyak 50 kamar, hanya 15 kamar yang terisi," ucap Samsul.
Berbagai upaya sudah dilakukan manajamen Grand Hani Hotel agar usahanya tetap bertahan. Dari mulai banting harga dari Rp 900 ribu menjadi Rp 350 ribu. Kemudian, manajemen terpaksa harus mengurangi pekerja dan menyederhanakan fasilitas.
Saat ini, hanya tersisa 11 pekerja untuk mengurus hotel bintang tiga dengan kapasitas 50 kamar itu. Samsul terpaksa mengambil langkah ekstrem itu demi bisa bertahan.
Baca Juga:Tak Bisa Cuan, Hotel di KBB bagai Mengulur Kematian
"Cost paling besar dari industri hotel adalah listrik dan tenaga manusia. Kita sudah mengurangi fasilitas kamar, tapi enggak ke tutup juga. Maka terpaksa kami mengambil langkah paling ekstrem yakni mengurangi karyawan. Bukan cuma itu, kita juga terpaksa harus berkompromi soal gaji mereka," bebernya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bandung Barat, Eko Suprianto mengaku belum mendengar informasi adanya hotel di KBB yang bakal dijual gara-gara Covid-19. Namun ia tak menampik bisnis hunian hotel di Bandung Barat 'mengulur kematian'.
Bukan tanpa sebab, menurutnya bisnis pariwisata tersebut saat ini konsennya bukan untuk mencari keuntungan lagi, tapi mencari uang hanya untuk mempertahankan usahanya agar tidak sampai gulung tikar.
"Jadi sekarang itu bukan nyari cuan lagi, tapi bagaimana caranya bertahan. Ya, seperti 'mengulur kematian'," ujar Eko.
Eko mengungkapkan, okupansi hunian hotel sejak dihantam wabah virus korona sangat terdampak dimana ada penurunan konsumen yang cukup drastis. Hal tersebut dibuktikan dengan data yang dimiliki PHRI KBB.
Periode tahun baru 2020, tepatnya bulan Januari occupancy rate hotel di KBB sebesar 59,8 persen, kemudian di bulan Februari mencapai 55,1 persen dari 10 hotel di wilayah Parongpong dan Lembang, KBB.
Persentasi okupansi hotel tersebut menurun drastis pada periode yang sama setelah Covid-19 mewabah. Termasuk saat malam pergantian tahun, di mana bulan Desember hanya 27,6 persen.
Angkanya semakin terjun bebas memasuki bulan Januari 2021 dimana occupancy rate-nya hanya 15,6 persen dan bulan Februari 2021 hanya 13,4 persen.
"Dari angka itu kan bisa kelihatan dampaknya, okupansinya sangat jauh sekali," ujar Eko.
Untuk bertahan agar tetap eksis di bisnis pariwisata, ungkap Eko, ada beberapa skema yang dilakukan para pengusaha hotel di Bandung Barat. Dari mulai banting harga. Ia mencontohkan, dari harga normal Rp 500 ribu diturunkan jadi Rp 200 ribu.
"Jadinya banting harga dan itu yang dikhawatirkan. Bahaya juga sebetulnya, jadinya nanti orang bandrol, gak sehat," katanya.
Ada juga yang melalukan inovasi prodak dan mengalihkan bidikan konsimen. Seperti yang awalnya hanya murni hotel, kemudian nuansanya diubah menjadi cafe.
"Yang rame kan cafe, suasana dibuat cafe karena pasarnya yan ada cafe. Otomatis target pasar pindah," ungkapnya.
Kemudian yang pasti adalah mengurangi jumlah karyawan dan jam kerjanya. Seperti yang dilakukan Eko di bisnis penginapan dan wisatanya, dimana ada pengurangan karyawan yang cukup banyak.
"Saya aja 50 persen habis kontrak gak diperpanjang. Dari 240 karyawan, sekarang tinggal 123 saja. Itupun gak masuk setiap hari, jadi digilir," terangnya.
Eko gak bisa membayangkan jika kondisinya masih seperti ini. Mungkin saja hanya yang punya modal besar yang masih bisa bertahan di bisnis pariwisata ini. Namun, ia masih punya keyakinan kondisi ini akan berangsur membaik.
"Tapi kalau sampai ada hotel yang di jual di sini (KBB) saya belum denger," ucapnya. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]