Kisah Pengawal Ambulans yang Tak Bisa Dilupakan Seumur Hidup

"Kemudian ambulans itu ke pinggir dan ternyata si pasiennya meninggal di jalan. Dari situ saya tergerak untuk membantu kalo ada ambulans untuk membuka jalurnya," ujarnya.

Ari Syahril Ramadhan
Jum'at, 09 Juli 2021 | 09:30 WIB
Kisah Pengawal Ambulans yang Tak Bisa Dilupakan Seumur Hidup
ILUSTRASI-Petugas mengendarai mobil Ambulans Gawat Darurat (AGD) Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta untuk menjemput bayi terkonfirmasi negatif yang ibunya terpapar COVID-19 di Jakarta, Jumat (25/6/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

SuaraJabar.id - Ambulans yang melaju dengan sirine kerap kali masih disepelekan pengendara di jalan. Bahkan, ambulans yang membutuhkan waktu cepat untuk menolong orang itu, justru kerap kali tak diberi jalan alias dihalangi oleh kendaraan lain.

Padahal, sudah tercantum dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya bahwa ambulans yang mengangkut orang sakit mendapatkan prioritas kedua setelah kendaraan pemadam kebakaran yang bertugas.

Kondisi itu pernah Muhamad Fadli (21), salah seorang relawan pengawal ambulans yang tergabung dalam Komunitas Baraya Escorting. Atas dasar itulah ia menjadi pengawal ambulan hingga sampai ke tujuan.

"Kemacetan di jalan raya yang paling suka bikin susah. Kalo jam sore kita kadang satu motor bedua, jadi kalo macet satu orang turun untuk mengatur jalan," kata Fadli kepada Suara.com, belum lama ini.

Baca Juga:Puskesmas Sumur Batu Diamuk Si Jago Merah, 1.000 Botol Vaksin Covid-19 Ludes Terbakar

Fadli bergabung dengan Komunitas Baraya Escorting sejak tahun 2019. Sudah mendapatkan pelatihan yang matang, ia pun langsung memulai tugasnya untuk membuka celah jalan di antara kepadatan dan kemacetan wilayah perkotaan.

Ketika itu, Fadli harus mengawal jenazah ke Sukabumi. Melewati kawasan padat Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), ia cukup kesulitan membuka jalan. Tak semuanya menyadari bahwa ambulan memiliki prioritas khusus untuk diberi jalan.

"Itu pengalaman paling jauh saya antara ambulans menggunakan sepeda motor," ujar Fadli.

Sekitar tiga tahun menjadi relawan pengawal ambulans, banyak cerita yang dialami Fadli. Cerita yang paling membuatnya sedih ketika menyaksikan pasien meninggal dunia tanpa sempat mendapat perawatan.

Ketika itu, ia bertugas mengawal ambulans yang membawa pasien kritis. Namun sialnya, banyak pengendara yang tak memberi jalan sehingga lajunya pun tersendat.

Baca Juga:RS Jawa-Bali Full Pasien Covid, Pemerintah Tambah Lagi Ranjang dan Jumlah Nakes

"Kemudian ambulans itu ke pinggir dan ternyata si pasiennya meninggal di jalan. Dari situ saya tergerak untuk membantu kalo ada ambulans untuk membuka jalurnya mendampingi ambulans supaya lancar sampai rumah sakit," terang Fadli.

Cerita lainnya, Fadli dan kawan-kawan di Baraya Escorting Bandung justru paling sulit menjalan tugas tatkala berhadapan dengan masyarakat yang menganut stigma negatif terhadap COVID-19.

Stigma muncul dalam beberapa tindakan. Mulai dari tindakan kasar dari pengendara hingga penolakan warga terhadap jenazah Covid-19. Seperti ketika dirinya mengawal jenazah dari RSHS Bandung menuju daerah Ciroyom, Bandung.

"Di situ dipersulit oleh warganya bahwa jenazah itu COVID-19, padahal jenazah tidak diagnosa COVID-29. Bahkan sampai bersitegang," ucap Fadli.

Tindakan Fadli mengawal ambulans tak perlu ada jika masyarakat sudah sadar jika untuk memberi jalan. Selain itu, pengawalan terhadap ambulans pasien COVID-19 tidak perlu ada jika stigma negatif telah hilang.

"Artinya selain memberi pertolongan dijalan juga memberikan edukasi bagi warga yang masih terhadap covid. Kita juga ingin warga dan pengendara jalan sadar ambulans, kalau lewat bisa minggir dan memberi jalan," tukasnya.

Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini