SuaraJabar.id - Sudah hampir sembilan tahun Sarbini (61) dan keluarganya mendirikan gubuk sederhana yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari gunungan Sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Tidak ada yang istimewa dari gubuk tersebut. Hanya berdinding bilik dan potongan papan, bambu serta kain yang usang. Namun yang terpenting bagi Sarbini, ada tempat untuk berlindung setelah seharian mengais sampah.
Sarbini memutuskan menjadi pemulung di TPA Sarimukti karena pekerjaan terdahulunya sebagai kuli bangunan sepi. Ia memilih hijrah dari rumahnya di Kiaracondong, Kota Bandung ke TPA Sarimukti.
"Saya sudah 9 tahun mulung sampah. Tinggal di sini kan enggak cukup uang buat ngontrak rumah," ujar Sarbini saat ditemui Suara.com di TPA Sarimukti, Desa Sarimukti, Kecamatan Cipatat, KBB.
Baca Juga:Weekend di Rumah Saja, Mimpi Buruk bagi Bisnis Pariwisata Lembang
Aktivitasnya pun dimulai untuk mengais sampah. Sekitar pukul 07.30 WIB, Sarbini mulai bersiap untuk mengais rezeki dengan memungut sampah yang bisa didaur ulang hasil kiriman dari berbagai wilayah di Bandung Raya. Seperti KBB, Kota Cimahi, Kota Bandung dan Kabupaten Bandung.
Tak perlu berbaju rapi, tak usah juga menggunakan parfum sebab itu dirasanya akan percuma. Bau menyengat sampah nampaknya sudah kebal bagi penciuman Sarbini dan pemulung lainnya di TPA Sarimukti.
Pukul 08.00 WIB, Sarbini dan ratusan pemulung lainnya mulai menantikan kedatangan truk-truk pengangkut sampah. Sampah yang diturunkan di area TPA Sarimukti langsung mereka serbu untuk mencari barang-barang yang bisa didaur ulang.
Bau busuk sampah yang sangat menyengat di hidung seakan tak terasa sama sekali bagi mereka. Padahal bagi yang tak biasa, mungkin tak akan sanggup menahan menyengatnya bau sampah di tempat ini dalam durasi waktu lebih dari 5 menit.
"Yang ngais sampah di sini ada sekitar 300 orang. Jam 1 siang saya udah selesai," tuturnya.
Baca Juga:Viral Tukang Rosok Tertabrak KRL Solo-Jogja, Tak Ditemukan di Bawah Kereta
Hasil mengais sampahnya kemudian ia jual kepada pengepul. Dalam sehari, ia bisa mendapatkan uang Rp 20-30 ribu. Cukup untuk biaya makan istri dan anak bungsunya yang ikut tinggal bersama Sarbini di gubuk sederhananya.
Anak pertama keduanya sudah bekerja di daerah lain. Sementara Sarbini memilih bertahan di gubuk sederhahanya di area TPA Sarimukti. Ia tak ingin merepotkan anak-anaknya.
"Allhamdulilah enggak pernah sakit. Kemarin sempet libur jualan plastik seminggu gara-gara Covid-19 karena gak ada yang nampung. Tapi sekarang udah jualan lagi," tutur Sarbini.
Bukan hanya Sarbini, memilih bermukim di area TPA Sarumukti pun dipilih Mamat Rusmana (65) untuk menyambung hidup. Sudah 15 tahun ia mengais rezeki dengan memungut sampah yang bisa di daur ulang.
"Dulu saya jualan di Bandung, tapi rada kurang. Cari pekerjaan juga kan sulit, ya sudah saya ke sini," kata Mamat.
Ia tinggal di gubuk sederhananya bersama istrinya. Dalam sepekan dari memungut sampah, uang yang dihasilkan hanya sekitar Rp 100 lebih. Uang tersebut ia kumpulkan karena ingin berjualan lagi.
Ia berencana untuk berhenti menjadi pemulung di TPA Sarimukti. Bukan karena tak kuat lagi dengan bau menyengat, tapi Mamat sadar usianya sudah senja sehingga tenaganya semakin terbatas.
"Lagi ngumpulin uang. Saya mau berhenti jadi pemulung," ujarnya.
Para pemulung di TPA Sarimukti sendiri bisa bernafas lega sedikit setelah mendengar informasi bahwa penggunaan lahan tersebut sebagai tempat pembuangan sampah diperpanjang sampai tahun 2025. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]