- Alasannya 'Dalem' Banget: Bentuk "Protes Sunyi" Atas Kondisi Nasional
- Jangkauannya Bukan Kaleng-Kaleng: Dari Kantor Camat Sampai Stasiun Kereta
SuaraJabar.id - Warga Kabupaten Bogor belakangan ini mungkin merasa ada yang berbeda saat berhenti di lampu merah atau menunggu kereta.
Alunan syahdu lagu "Ibu Pertiwi" tiba-tiba menggema, menciptakan suasana yang tak biasa.
Kebijakan Pemkab Bogor ini sontak menjadi viral dan menuai banyak perbincangan.
Tapi ternyata, di balik instruksi sederhana ini, tersimpan banyak fakta menarik yang membuatnya lebih dari sekadar kebijakan biasa.
Baca Juga:Gebrakan Nekat Pemkab Bogor: Siap Pasang Badan dan Bayar Royalti Demi Gema Ibu Pertiwi
Berikut adalah 5 fakta geger yang perlu kamu tahu di balik kebijakan viral ini!
1. Alasannya 'Dalem' Banget: Bentuk "Protes Sunyi" Atas Kondisi Nasional
Ini bukan sekadar program cinta tanah air biasa. Sekretaris Daerah (Sekda) Bogor, Ajat Rochmat Jatnika, secara blak-blakan mengungkapkan bahwa kebijakan ini lahir dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi Indonesia saat ini.
Ia menyebut maraknya demonstrasi di berbagai daerah yang sebelumnya tenang sebagai pemicunya.
"Papua yang ga pernah demo, demo. Bone demo, ga pernah. Bahkan Bali, saat ini Bali ada demo," ungkapnya.
Baca Juga:Bukan Sekadar Lagu, 'Ibu Pertiwi' Jadi Protes Sunyi Pemkab Bogor Atas Kondisi Nasional?
Lirik lagu yang berbunyi "Ibu Pertiwi sedang bersusah hati" dianggap sangat mewakili perasaan pemerintah daerah melihat gejolak nasional.
Jadi, ini bisa dibilang adalah cara Pemkab Bogor melakukan "protes sunyi" dan mengajak semua orang merenung.
2. Jangkauannya Bukan Kaleng-Kaleng: Dari Kantor Camat Sampai Stasiun Kereta
Instruksi ini bukan imbauan main-main. Surat edaran bernomor 200.1.1/24 mewajibkan pemutaran lagu ini di hampir semua lini. Cakupannya meliputi:
- Seluruh kantor dinas pemerintah
- Kantor Kecamatan, Kelurahan, hingga Desa
- Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
- Semua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
- Titik keramaian publik seperti traffic light dan stasiun kereta (salah satunya Stasiun Bojonggede)
Bayangkan, dari mengurus KTP sampai menunggu lampu hijau, warga akan terus "diingatkan" oleh melodi ini.
3. Siap "Pasang Badan" Hadapi Tuntutan Royalti
Ini bagian paling menegangkan. Di era di mana hak cipta sangat dijunjung tinggi, Pemkab Bogor mengambil langkah berani.
Mereka mengakui belum meminta izin resmi untuk memutar lagu ini secara masif. Namun, mereka tidak gentar.
Sekda Ajat Jatnika dengan tegas menyatakan siap menanggung segala risiko, termasuk jika ada pihak yang memprotes dan menuntut pembayaran royalti.
"Tidak keberatan sih kalau diprotes gara-gara royalti," katanya.
Sikap "pasang badan" ini menunjukkan keseriusan mereka bahwa pesan moral dari lagu ini jauh lebih penting daripada potensi denda finansial.
4. Tujuannya Psikologis: Ingin "Melembutkan Hati" Warga
Tujuan akhir dari "teror" melodi ini sebenarnya sangat mulia. Pemkab Bogor berharap dengan terus-menerus mendengar lirik yang menyentuh, hati masyarakat bisa menjadi lebih lembut.
Harapannya, warga yang tadinya mungkin berniat ikut dalam aksi-aksi yang memanaskan suasana bisa berpikir ulang dan tergugah empatinya.
"Nah mudah-mudahan dengan pendekatan itu kita tergugah terus sadar bahwa okey kita ada permasalahan kemudian kita bersama melakukan perbaikan diri," jelas Ajat. Ini adalah sebuah eksperimen sosial berskala kota untuk meredam tensi dengan musik.
5. Menggunakan Aset Publik untuk Menyampaikan Pesan Emosional
Kebijakan ini menjadi contoh langka bagaimana aset dan infrastruktur publik (seperti pengeras suara di lampu merah dan stasiun) digunakan bukan hanya untuk informasi fungsional, tetapi untuk menyebarkan pesan emosional dan bahkan politik.
Biasanya kita mendengar imbauan lalu lintas atau iklan layanan masyarakat, tapi kali ini pemerintah menggunakannya untuk "terapi" empati massal.
Hal ini membuka diskusi baru tentang fungsi ruang publik dan bagaimana pemerintah bisa berkomunikasi dengan warganya di luar jalur-jalur formal.